Selasa, 14 Januari 2020

Ikhtiar dan Tawakal Tidak Bisa DIpisah



Sok banget deh sum, di post pertama 2020 bahas-bahas tentang ikhtiar dan tawakkal

Iya, soalnya beberapa minggu lalu ada kejadian yang menggangu di pikiran saya. Yah, semoga saja tidak ada yang baca.

Jadi ceritanya, salah satu kerabat ada yang kehilangan putrinya yang masih berumur 20 tahunan. Masih muda. Almarhumah sedang hamil anak kedua dengan usia kandungan memasuki trimester ketiga. Anak pertamanya sendiri belum genap satu tahun (kalau tidak salah). 

Qadarullah.

Iya, memang sudah tertulis takdirnya seperti itu. Tambahannya, ini adalah kehilangan kedua bagi keluarga itu dalam 4 bulan terakhir. Sebelumnya kakak perempuannya yang lebih tua 10 tahun juga berpulang ke rahmatullah. 

Penyebabnya sendiri berbeda. Tapi ada satu yang sama, keduanya meninggal di rumah tanpa mendapatkan pertolongan medis walaupun sakit setelah beberapa lama dan sempat terjatuh pingsan. Pertolongan di sini maksudnya dilarikan ke rumah sakit. ya, keluarga ini anti rumah sakit

Sebelumnya saya sadur dulu ya dari sebuah artikel tentang ikhtiar dan tawakal di situs milik Republika yang bisa diakses di sini

Tetap ikhtiar berarti terus berupaya dan berbuat. Tidak diam, juga tidak fatalistis. Keyakinannya cukup kuat dan stabil. Sebesar dan semaksimal ikhtiar sebesar itulah hasil. Tentu berikhtiar maksimal dalam jalan yang diridhai-Nya. Bukan di jalan yang tidak dibenarkan, apalagi menabrak banyak rambu dan ketentuan.

Manusia terbaik adalah yang terus bergerak, memanfaatkan setiap potensi yang dia miliki untuk merebut sebuah kemenangan. Potensi yang termanfaatkan tidak hanya dari fisik, tetapi juga dari jalur ruhiyah, misal shalat, zikir, dan doa. Ikhtiar tanpa doa adalah sebuah ke-sombongan. Sebagaimana doa tidak disertai ikhtiar adalah kesia-siaan.

Seorang Muslim yang tawakal adalah yang menyerahkan kepada Allah SWT atas segala yang sudah dilakukannya. Tawakal tidak sama dengan pasrah. Tawakal adalah sebuah tindakan aktif, sementara pasrah adalah tindakan pasif. Tawakal mensyaratkan adanya upaya kreatif dari pelakunya. Dalam Alquran, ada banyak ayat yang berbicara mengenai tawakal ini, setidaknya, ada 70 ayat.

Sebagai outsider, ya siapa saya berkomentar. Namun tahun lalu saya juga baru kehilangan seorang yang amat saya sayangi, yaitu ayah saya. (Ya dan sampai saat ini saya masih belum bisa membuat tulisan tentang perasaan saya atas kejadian ini). Ayah saya dirawat di ICU selama 2 bulan sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir. 2 bulan itu, tidak ada komunikasi sama sekali karena memang beliau dibuat tidak sadar agar pengobatan bisa lebih efektif.

Namun sebelumnya, memang ayah saya sempat mengeluhkan kesehatannya. Sempat pernah dibawa ke IGD juga namun dokter hanya bilang sakit lambung biasa. Kebetulan yang mengantarkan saya, namun episode itu terulang-ulang di benak saya. Ada rasa marah kepada dokter yang waktu itu memberikan diagnosis ringan seminggu sebelum akhirnya Ayah saya masuk ICU dengan kondisi yang sudah cukup parah. 

Selama 2 bulan itu, saya merasakan betapa kecilnya kita sebagai manusia. Dan dokter pun hanya manusia biasa, yang bukanlah serba tau. Walau kejadian itu ada, tapi keberhasilan seperti yang layaknya sering dipertontonkan di serial TV tentang kedokteran.

Penyesalan kenapa tidak segera mendapatkan diagnosis yang benar lebih cepat itu selalu ada. Walaupun semua sudah terjadi dan yang bisa saya lakukan adalah ikhlas dan bersabar.

Yang saya tidak bisa bayangkan adalah, bagaimana keluarga yang saya ceritakan di atas rasakan. Tidak ada usaha. Jikalau tidak ada uang, mereka mempunyai banyak teman yang siap membantu. Rumah Sakit tidak jauh dari kediaman mereka. Atau ketika sebenarnya masih bisa dilarikan ke Rumah Sakit dan bayi dalam kandungan diselamatkan. Tidak, mereka tidak memilih itu. Rasanya gemas. Gemas saja. Memang keluarga tersebut tergolong religius dan memang giat mengingatkan tentang hari akhir. Namun, bukan begini dong seharusnya. Padahal banyak ilmuwan muslim yang merupakan pelopor kesehatan, contohnya Ibnu Sina. BE RATIONAL.

Ya Allah, julid sekali ya saya... Ya, saya gemas. Hanya merasa perlu menuliskan uneg-uneg, semoga yang bersangkutan tidak membaca dan tersinggung.

Bagaimanapun, ikhtiar itu penting kan? Diiringi dengan doa dan kepasrahan sebagai bentuk tawakkal kita.