Tampilkan postingan dengan label #random. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label #random. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 26 Juni 2021

Cukuplah Kematian Sebagai Pengingat

Sebenarnya sudah lama saya merenungkan hal ini. Terlebih setelah Ayah saya meninggal tepat 2 tahun lalu, 26 Juni 2019. Kematian pertama yang memiliki banyak dampak pada saya, bisa dibilang first loss. Ditambah dengan keadaan pandemi di Indonesia yang sepertinya sedang mengalami tsunami Covid sekarang ini, membuat saya semakin merenung artinya kematian. 






Akhir Maret lalu saya sempat mengalami demam dan meriang disertai pusing. Karena sedang pandemi, saya sampai memeriksakan diri dengan uji PCR walau saya tidak ada kontak erat dengan kasus positif dan saya di rumah saja. Alhamdulillah, hasilnya negatif. Sudah lama saya tidak sakit. Ah sungguh tidak enak ya ternyata rasanya. Pantas saja sakit itu penghilang dosa.

Ada 2 cara manusia meninggal, mendadak dan sakit. Mendadak bisa saja ada kecelakaan atau (mungkin) pembunuhan. Yang dianggap lebih "alami" tentu saja sakit, apalagi jika sudah lanjut usia. Namun, mana yang lebih mudah?

Jika mendadak, apakah kita cukup waktu untuk menyiapkan mereka yang kita tinggalkan. Betapa banyaknya rencana yang tidak dapat diwujudkan. 

Jika sakit, apakah kita mampu untuk melewatinya? Mengingat sariawan saja sudah tidak enak. Sedikit saja nikmat darinya dicabut, cukup untuk membuat kita sangat tidak nyaman.  

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. (QS Luqman: 27)

Ada sebuah cerita yang mungkin sudah banyak didengar. Namun tidak ada salahnya saya tulis lagi sebagai pengingat. Seperti yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah bercerita bahwa Djibril menceritakan padanya tentang seorang hamba Allah yang hanya beribadah selama 500 tahun. Saat hari perhitungan tiba, hamba tersebut meminta dimasukkan ke surga atas ibadahnya. Namun Allah memasukkannya ke surga atas rahmatNya. Setelah berkali-kali kukuh bahwa ibadahnya dapat membawanya ke surga, dilakukan lah pengukuran. Singkat cerita, ibadah tanpa henti selama 500 tahun tidak dapat membalas kenikmatan penglihatan yang ia miliki. 

Subhanallah. Bagaimana dengan diriku yang pas-pasan ini. 


Wahai Tuhan, ku tak layak ke surgaMu. Namun tak pula aku sanggup ke nerakaMu


Bagaimana pun caraMu memanggilku kelak, semoga aku dalam keadaan husnul khotimah. Walaupun kadang tak sanggup aku membayangkannya. Betapa lemah dan kecutnya diri ini. Cukuplah kematian sebagai pengingat.

Depok, 26 Juni 2021



Selasa, 18 Februari 2020

Manfaat Lebih Banyak Membaca untuk Para Ibu


Saya suka membaca. Dulu. Saat SD saya suka sekali melahap buku cerita rakyat, komik, dan majalah. Saat SMP saya mulai suka membaca Chicklit, setiap ada judul baru di toko buku pasti saya baca walau meminjam teman (waktu itu chicklit tidak sebanyak sekarang). Saat SMA, saya membaca novel-novel remaja islami. Dan tambahannya adalah, sedari SD saya suka membuat cerita pendek walau tidak saya bagikan ke siapapun.

Saat KULIAH, jeng jeng, kesibukan membuat saya hampir tidak lagi membaca. Di waktu senggang, saya habiskan dengan menonton DVD Bajakan serial TV atau film Hollywood. Semenjak itu, sedikit sekali waktu saya membaca. Bisa dikatakan dalam setahun, sepertinya tidak sampai 3 buku yang saya baca sampai selesai. Umumnya pun buku tentang traveling ala backpacker. Yang saya ingat dengan pasti, saya adalah penggemar dan selalu mengikuti semua serial buku Naked Travelernya mbak Trinity.

Baru setahunan belakangan ini, saya mulai mencoba mengembalikan lagi hobi lama yang sudah terpendam itu. Dimulai dari sebuah akun instagram tentang Buibu Baca Buku Book Club di akun Instagram @bbbbookclub, saya mulai terbakar semangatnya untuk MENOLAK BEGO dan kembali membaca. Entah mitos atau fakta, terkadang orang menyebutnya Mommy's Brain, yaitu saat dimana kemampuan konsentrasi seseorang mulai menurun setelah menjadi Ibu aka LEMOT.

Pada tahun 2019 kemarin saya mulai memasang target berapa jumlah buku yang harus saya selesaikan. Dimulai dengan 18 buku yang berarti 1.5 buku per bulan. Alhamdulillah bisa tercapai 28 buku, 10 buku lebih banyak daripada target. Untuk tahun ini saya memasang target 24 buku. Sedikit demi sedikit, apalagi akan ada member baru di keluarga kami tahun ini.

BACA JUGA: Secrets I Only Share to Stranger

Ok, ok, saya tahu apa yang terlintas di pikiran ibu-ibu lain tentang ibu yang bisa membaca banyak buku.
"Gimana bisaaa?"
Karena pikiran itu juga yang terlintas di pikiran saya. Sambil nyinyir netijen, "wah pasti dia mah support systemnya banyak, jadi sempet baca buku".

Ternyata BISA. Caranya?

  1. Kurangi Waktu Berselancar di Media Sosial
  2. Kurangi Waktu Berselancar di Marketplace

Ternyata dengan menyisihkan waktu sedikit saja, 1 jam sehari, kita bisa membaca banyak buku loh.  Dan 1 jam itu sangat mungkin karena jika mau jujur waktu yang dihabiskan dengan melihat instastory atau scroll feed/explorer di Instagram bisa menghabiskan waktu lebih dari itu. Hayooo jujurrr.. Saya pernah menonton video di youtube (lupa video pastinya) yang mengatakan bahwa para Top CEO meluangkan waktu 45 menit-1 jam sehari untuk membaca loh.

Satu lagi gangguan untuk para emak adalah, marketplace, online shopping, dan lain-lain. Iyaa, itu saya banget juga. Ada saja yang saya masukkan ke keranjang padahal saya tidak terlalu perlu. Saya masukkan ke kerangjang, karena kemungkinan saya membelinya lebih besar. Kalau hanya difavoritkan, kemungkinan tenggelam, karena sudah lebih dari 2300 produk yang saya favoritkan. Hahahaha... Dan keranjang saya pun tulisannya 99+. Banyaknya pilihan dan harga bersaing yang ditawarkan oleh penjual terkadang malah membuat waktu kita memilih lebih lama. Mana yang lebih murah, mana yang reviewnya paling bagus, mana yang penjualannya paling tinggi, mana yang penjualnya lebih dekat agar ongkirnya murah, sampai penjual mana yang berstatus khusus agar kita bisa mendapatkan cashback. Panjang deh proses pemilihannya.

Media Membaca Buku

Untuk media membaca buku saya paling suka menggunakan handphone, alasannya tidak berat, bisa dibawa kemana-mana, dan paling penting, bisa dibaca saat gelap-gelapan karena umumnya saya membaca buku saat anak-anak sudah tertidur. Namun ini ada kekurangannya sendiri yaitu banyak distraksi seperti notifikasi whatsapp dan media sosial. Awalnya saya masih suka terdistraksi karena masih belum "hanyut" membaca, tapi lama kelamaan saya mulai tak terpengaruh (kecuali anak nangis karena rewel, minta susu atau minta dipeluk. Kalo bapaknya yang minta peluk, masih belum ngaruh :p). Sampai akhirnya saya sampai pada poin dimana, saya justru merasa jenuh menonton video, saya lebih suka dan nyaman membaca buku.

Source: pixabay

Beberapa teman masih tetap lebih suka buku fisik, ada juga yang memakai kindle. Semua tergantung preferensi anda, nyamannya yang mana. Saya sendiri memiliki Amazon Fire limpahan dari suami, saudaranya Kindle tapi berwarna jadi seperti tab biasa namun kapasitasnya kecil. Namun tetap saya lebih suka menggunakan handphone saya, dengan applikasi Moon+ Reader Pro (berbayar sekali seumur hidup namun sering diskon 50%). 

Genre Buku Favorit

Awalnya buku yang saya baca tidak jauh-jauh dari masalah parenting. Contohnya The Danish Way of Parenting, Bringing Up Bebe, How Eskimos Keep Their Babies Warm, dan sebagainya. Sampai akhirnya saya mulai muak karena beberapa yang ada di buku parenting rasanya sulit dan tidak applicable untuk anak saya. Lagipula hampir seluruh waktu saya gunakan untuk mengurus anak, masa waktu membaca alias me time saya pakai buat mereka lagi (Emak mau egois ahhh). Saya mulai beralih ke genre lain seperti fiction, young adult, biography, anything but parenting!

BACA JUGAReview The Danish Way of Parenting

Tidak semua buku membuat saya cukup tertarik untuk membacanya sampai habis. Namun setelah mencoba berbagai macam genre, ternyata saya baru menemukan bahwa saya sangat menyukai buku-buku nonfiksi mulai dari biografi orang terkenal (Coba: Trevor Noah!) sampai peristiwa yang pernah terjadi (Coba: The Billion Dollar Whale dan Midnight in Chernobyl). Belum lama ini atas rekomendasi adik, saya mulai mencoba buku-buku genre misteri. Seru jugaaa...

Source: pixabay

Semua orang tentunya memiliki ketertarikan yang berbeda-beda, jadi ketika kita sudah menemukan apa yang kita suka, biasanya akan lebih nyaman untuk membaca.

Manfaat yang Sejauh ini Saya Rasakan

Sudah jelas dari 2 cara di atas yang saya lakukan dalam meluangkan waktu untuk membaca.


1. I Envy, Worry, and Ghibah Less

Ini sebenarnya efek dari mengurangi sosial media bagi kesehatan jiwa. Bagaimana pun sebagian besar orang hanya membagikan momen-momen baik atau kesuksesan (dan terkadang jatuhnya pamer) yang mereka miliki. Kok si itu jalan-jalan mulu, kok dia makannya enak-enak ya, kok dia uangnya kaya ga abis-abis, dan lain-lain. Terkadang kalau baperan, jadinya bisa mudah iri dan khawatir sendiri apakah kita sudah "berhasil"? Jangankan postingan selebgram dan kehidupan glamour (tapi gratisan dan dibayar pulak), sesimpel postingan anak orang yang gemuk di atas timbangan aja kadang bisa bikin baper ya kann...

Selain yang bagus-bagus, biasanya postingan yang ramai pengunjung adalah jika ada skandal. Saya sih bukan netizen yang berani julid langsung di kolom komen, tapi salah satu guilty pleasure saya adalah baca bagian komen postingan skandal atau problematik. Semenjak saya asyik sendiri dengan buku dan kegiatan lainnya di luar sosial media, saya tidak peduli dengan pertengkaran antara selebgram ini dengan selebgram lainnya. I don't even know them. They're famous just because of having these scandals nowadays. Why make stupid people more famous, right?

Belum lagi overfloading information yang ada, seperti contohnya harga masuk sekolah Internasional yang sangat mahal sekali. Lalu jadi pusing sendiri. Lah emang situ mau masukin ke sekolah itu, masih banyak kok sekolah lain yang bagus dan lebih sesuai untuk keluarga kita dengan harga yang lebih terjangkau.


2. I Spend Less

Dengan kemajuan teknologi, cuci mata sekarang bisa dilakukan tanpa pergi kemana-mana cukup dengan ujung jari kita. Baik di marketplace, maupun sosial media. Intinya semua beriklan dan berjualan. Walaupun dengan berbelanja kita ikut berpartisipasi dalam kemajuan ekonomi, tapi kalo kebanyakan dan ga perlu akan berdampak pada kekeringan kantong. Akhirnya saya hanya berbelanja ketika saya merasa memang hal itu saya perlukan.


3. Brain More

Membaca memperkaya kosa kata kita terlepas dari genre yang kita baca. Beberapa genre bisa memperkaya ilmu pengetahuan kita dan melatih critical thinking. Saya tidak bilang saya tambah pintar sih, namun setidaknya degradasi otak karena mommy's brain agak terhambat dikit. Kalau diajak berdiskusi tidak lemot-lemot banget dan masih nyambung gitu.



Semoga sharing dari seorang yang awalnya tidak membaca buku ini berguna yaa. Yuk kepoin buku-buku yang kubaca dan berteman di Goodreads!

Selasa, 14 Januari 2020

Ikhtiar dan Tawakal Tidak Bisa DIpisah



Sok banget deh sum, di post pertama 2020 bahas-bahas tentang ikhtiar dan tawakkal

Iya, soalnya beberapa minggu lalu ada kejadian yang menggangu di pikiran saya. Yah, semoga saja tidak ada yang baca.

Jadi ceritanya, salah satu kerabat ada yang kehilangan putrinya yang masih berumur 20 tahunan. Masih muda. Almarhumah sedang hamil anak kedua dengan usia kandungan memasuki trimester ketiga. Anak pertamanya sendiri belum genap satu tahun (kalau tidak salah). 

Qadarullah.

Iya, memang sudah tertulis takdirnya seperti itu. Tambahannya, ini adalah kehilangan kedua bagi keluarga itu dalam 4 bulan terakhir. Sebelumnya kakak perempuannya yang lebih tua 10 tahun juga berpulang ke rahmatullah. 

Penyebabnya sendiri berbeda. Tapi ada satu yang sama, keduanya meninggal di rumah tanpa mendapatkan pertolongan medis walaupun sakit setelah beberapa lama dan sempat terjatuh pingsan. Pertolongan di sini maksudnya dilarikan ke rumah sakit. ya, keluarga ini anti rumah sakit

Sebelumnya saya sadur dulu ya dari sebuah artikel tentang ikhtiar dan tawakal di situs milik Republika yang bisa diakses di sini

Tetap ikhtiar berarti terus berupaya dan berbuat. Tidak diam, juga tidak fatalistis. Keyakinannya cukup kuat dan stabil. Sebesar dan semaksimal ikhtiar sebesar itulah hasil. Tentu berikhtiar maksimal dalam jalan yang diridhai-Nya. Bukan di jalan yang tidak dibenarkan, apalagi menabrak banyak rambu dan ketentuan.

Manusia terbaik adalah yang terus bergerak, memanfaatkan setiap potensi yang dia miliki untuk merebut sebuah kemenangan. Potensi yang termanfaatkan tidak hanya dari fisik, tetapi juga dari jalur ruhiyah, misal shalat, zikir, dan doa. Ikhtiar tanpa doa adalah sebuah ke-sombongan. Sebagaimana doa tidak disertai ikhtiar adalah kesia-siaan.

Seorang Muslim yang tawakal adalah yang menyerahkan kepada Allah SWT atas segala yang sudah dilakukannya. Tawakal tidak sama dengan pasrah. Tawakal adalah sebuah tindakan aktif, sementara pasrah adalah tindakan pasif. Tawakal mensyaratkan adanya upaya kreatif dari pelakunya. Dalam Alquran, ada banyak ayat yang berbicara mengenai tawakal ini, setidaknya, ada 70 ayat.

Sebagai outsider, ya siapa saya berkomentar. Namun tahun lalu saya juga baru kehilangan seorang yang amat saya sayangi, yaitu ayah saya. (Ya dan sampai saat ini saya masih belum bisa membuat tulisan tentang perasaan saya atas kejadian ini). Ayah saya dirawat di ICU selama 2 bulan sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir. 2 bulan itu, tidak ada komunikasi sama sekali karena memang beliau dibuat tidak sadar agar pengobatan bisa lebih efektif.

Namun sebelumnya, memang ayah saya sempat mengeluhkan kesehatannya. Sempat pernah dibawa ke IGD juga namun dokter hanya bilang sakit lambung biasa. Kebetulan yang mengantarkan saya, namun episode itu terulang-ulang di benak saya. Ada rasa marah kepada dokter yang waktu itu memberikan diagnosis ringan seminggu sebelum akhirnya Ayah saya masuk ICU dengan kondisi yang sudah cukup parah. 

Selama 2 bulan itu, saya merasakan betapa kecilnya kita sebagai manusia. Dan dokter pun hanya manusia biasa, yang bukanlah serba tau. Walau kejadian itu ada, tapi keberhasilan seperti yang layaknya sering dipertontonkan di serial TV tentang kedokteran.

Penyesalan kenapa tidak segera mendapatkan diagnosis yang benar lebih cepat itu selalu ada. Walaupun semua sudah terjadi dan yang bisa saya lakukan adalah ikhlas dan bersabar.

Yang saya tidak bisa bayangkan adalah, bagaimana keluarga yang saya ceritakan di atas rasakan. Tidak ada usaha. Jikalau tidak ada uang, mereka mempunyai banyak teman yang siap membantu. Rumah Sakit tidak jauh dari kediaman mereka. Atau ketika sebenarnya masih bisa dilarikan ke Rumah Sakit dan bayi dalam kandungan diselamatkan. Tidak, mereka tidak memilih itu. Rasanya gemas. Gemas saja. Memang keluarga tersebut tergolong religius dan memang giat mengingatkan tentang hari akhir. Namun, bukan begini dong seharusnya. Padahal banyak ilmuwan muslim yang merupakan pelopor kesehatan, contohnya Ibnu Sina. BE RATIONAL.

Ya Allah, julid sekali ya saya... Ya, saya gemas. Hanya merasa perlu menuliskan uneg-uneg, semoga yang bersangkutan tidak membaca dan tersinggung.

Bagaimanapun, ikhtiar itu penting kan? Diiringi dengan doa dan kepasrahan sebagai bentuk tawakkal kita.

Minggu, 08 Desember 2019

Berhenti Mengeluh dan Merengek

Minggu lalu karena ada sahabat suami yang menikah, kami sekeluarga pergi dan menghabiskan akhir minggu di Cirebon. Kota dimana beberapa bulan lalu kami tinggali sampai akhirnya suami dipindahtugaskan kembali ke Jakarta. Barang-barang kami sebenarnya pun belum terangkut semua ke Jakarta.



Masih teringat dulu dimana saya mengeluh pada suami bahwa kita tidak bisa tinggal lebih lama lagi di tempat itu. Tempat tinggal saya di Cirebon adalah serviced apartment di  sebuah hotel dengan luas sekitar 80 m2 yang terdiri dari sebuah ruangan besar (ruang keluarga dan ruang makan), sebuah kamar tidur yang cukup luas, pojok lemari, dan kamar mandi dengan bath tub yang cantik. Ya, kami tidak memiliki dapur dan hanya bermodalkan slow cooker dan rice cooker saja. Sebagian besar kami memesan makanan melalui room service, grabfood, ataupun gofood.

BACA JUGA: Rekomendasi Tempat Makan di Cirebon

Semenjak kepergian ayah saya pada bulan Juni 2019, kami memang jadi lebih sering ada di Depok. Ditambah lagi suami pun sudah lebih sering diperlukan oleh kantornya di Jakarta. Hidup kami berubah. Kami kembali tinggal di rumah orang tua saya, dimana ada 2 keluarga kecil lain yang hidup di sana dan 5 adik saya lainnya yang belum menikah. Memang rumah itu cukup luas. Ibu saya mendesainnya agar lantai bawah rumah bisa digunakan oleh anaknya yang sudah menikah, semua kamar dilengkapi kamar mandi jadi privasi terjaga.

Namun, ternyata tidak semudah itu. Rumah rasanya terlalu crowded dan mulai tidak sehat. Apalagi ketika gaya parenting saya mendapat kritik dari orang yang bahkan belum mempunyai anak. Kebayang dong panasnya seperti apa. Akhirnya kami melipir pindah ke apartment milik ibu saya yang masih ada di Depok. 

Apartment Studio. 24 m2. 1 ruangan dan kamar mandi. Dalam ruangan itu ada dapur, meja makan, dan tempat tidur 120x200 yang dapat dilipat ke dalam dinding. Dan kami keluarga muda dengan 2 orang anak mulai tinggal disitu. Setiap malam, suami saya tidur di kasur tiup karena kasur yang ada tentu saja tidak cukup.

Sebenarnya ada beberapa keuntungan ketika kamu tinggal di tempat yang kecil:
  • Lebih sedikit area yang menjadi sasaran berantakannya anak-anak
  • Anak-anak bisa melihat ibunya dengan mudah sehingga saya bisa dengan lebih leluasa melakukan berbagai hal seperti memasak dan membereskan rumah
Dan tinggal di apartment studio itu rasanya masih lebih baik daripada berada dalam rumah besar dengan terlalu banyak kepala keluarga.

Lalu perjalanan kami kembali ke Cirebon menjadi pengingat kembali bahwa hidup kami yang sebelumnya sangatlah nyaman. Fresh linen everyday, buffet breakfast, space for kids to run around, ke kantor hanya 5 menit, dan lain sebagainya. And yet, I was complaining about it before. Not feeling grateful. Suggesting (or more like nagging) that my husband should look for overseas transfer or other job opportunity.

Jadi teringat cerita Abu Nawas yang sering diceritakan dahulu jika saya tidak salah ingat. Seorang lelaki mengeluhkan pada Abu Nawas tentang rumahnya yang sempit dan istrinya yang mengeluh serta anaknya yang nakal. Abu Nawas pun menyuruhnya untuk menambahkan beberapa ekor ayam ke rumahnya. Keesokannya iya kembali lagi dan mengeluh bahwa hal bertambah buruk, namun Abu Nawas justru menyarankan untuk menambahkan beberapa ekor kambing ke dalam rumah. Keadaan tambah parah, namun Abu Nawas kembali menyarankan untuk menambah beberapa ekor bebek. Rumah lelaki itu pun makin sesak dan bau, istrinya makin marah dan kesal.



Sampai akhirnya Abu Nawas menyuruhkan mengeluarkan semua binatang itu. Keesokannya lelaki itu kembali lagi dengan wajah berseri dan mengatakan bahwa rumahnya terasa lebih lapang dan semua orang bahagia tanpa harus benar-benar memperbesar rumahnya.

Baca Cerita Lengkap Abu Nawas di sini.

Hikmah yang dapat saya ambil adalah kita harus mensyukuri apa yang kita miliki sekarang karena hal bisa saja bertambah buruk. Dan jika kita tidak bersyukur, sesungguhnya kita tidak akan pernah puas dan bahagia apalagi merasa content. 

Sebagai istri *ngomong sama diri sendiri*, jangan sampai sifat mengeluh, merengek, dan menuntut ini membuat suami mencari rezeki yang tidak halal. Jadi kepikiran, jangan-jangan ini juga salah satu faktor yang membuat para pejabat itu korupsi.

Semoga saya bisa belajar untuk berhenti mengeluh, menjadi pribadi yang lebih bersyukur dan mendukung apa yang dilakukan suami selama itu Halal. Bisa jadi karena saya selalu merasa tidak puas dengan pekerjaannya justru itulah yang membuat karirnya mandek... Iya gakkk

Once again, this is one of the random post about random things in my mind. Plus, sudah hampir habis ini batas tidak setor tulisan ke 1minggu1cerita. Hampir di kick saudara-saudara, hehehehe.


Rabu, 30 Oktober 2019

Secret I Only Share to Strangers




Sebenarnya tujuan awal saya mulai aktif menulis di blog adalah untuk media curhat selain tumblr yang sebelumnya sempat di blok pemerintah. Ingin curhat, ingin ditulis, tapi tak ingin dibaca. Jadi yang baca yang ga sengaja aja hahahaha. Saya memang tipe yang jarang membagikan tulisan organik saya terutama bagi keluarga ataupun yang saya kenal kecuali memang saya yakin ada faedahnya.

Ini bukan rahasia kelam atau aib sih sebenarnya. Bukan berarti saya tidak bersyukur juga.

Jadi ceritanya beberapa bulan yang lalu saat Ayah saya sakit dan harus dirawat di ICU selama 2 bulan lebih lamanya (sebelum akhirnya berpulang ke rahmatullah), saya mulai menyadari enaknya punya saudara banyak. Bagaimana tidak, selama 2 bulan lebih itu harus ada di antara kami yang standby di emperan Rumah Sakit menunggu jikalau ada panggilan dari dokter melalui speaker yang terpasang. Pasien yang dirawat ICU tentu saja tidak boleh ditemani keluarga di dalam ruangan karena tingginya resiko infeksi bagi pasien maupun pendamping.

Gimana rasanya? Lelah walaupun dari total 2 bulan itu mungkin jika di total saya hanya ada disana 3 minggu, karena anak-anak tidak mungkin terlalu lama tinggal di Rumah Sakit (awalnya masih booking kamar di hotel dekat RS, tapi lama-lama mayan ya sisss). Oh iya, perlu diingat bahwa kejadian Ayah saya jatuh sakit itu di Malang saat bekerja, kami bukan orang Malang dan tidak punya tempat tinggal di sana. Jadilah kami sekeluarga bergantian PP Jakarta-Malang, Cirebon-Malang untuk menjenguk ayah saya.

Alhamdulillah kami semua 9 bersaudara, jd minimal 2-3 anak menemani ibu saya di Malang. Walaupun menunggu, tapi melelahkan loh.. Fisik dan Psikis, deg deg ser setiap dengar panggilan dari speaker.

Nah, setelah pengalaman itu, saya jadi sempat berdoa kalau saya ingin juga punya anak banyak.

Dipost 2 hari sebelum Ayah saya berpulang, Alhamdulillab sempat kumpul full tim

Lalu apa yang terjadi, jeng jeng jeng. Saya hamil lagi dengan perkiraan waktu conceive nya berdekatan dengan meninggalnya Ayah saya.

Saya baru mengetahuinya setelah kehamilan menginjak hampir 6 minggu. Karena kebetulan saya memang tipe hamil kebo yang hampir tidak merasakan perubahan apa-apa kalau hamil.

Perasaan saya dan suami? Ya campur aduk

Di sisi lain, ya Allah cepat banget diijabahnya doa, apakah ini pengganti Ayah saya? Tapi di sisi lain, saya masih belum begitu siap mengingat kedua anak saya masih kecil dan butuh banyak perhatian. Walaupun setidaknya jarak antara anak kedua dan ketiga akan lebih jauh (yaitu 2 tahun) dibandingkan yang pertama dan kedua (19 bulan).


Aa dan calon teteh


Suami saya? Ya dia membayangkan bagaimana menghadapi 3 anak nanti... Dan yang paling ditakutkan adalah kalau sayanya stress dia juga yang kena kan hehehehe... Karena baginya, everything is easy as long as my wife doesn't get angry 😂


Diambil saat ngedate nonton Joker, kehamilan 18 minggu


Di lingkungan keluarga, adik saya (anak nomor 2) belum dikaruniai anak setelah tinggal 1 tahun lebih bersama (sebelumnya 2 tahun LDM), sedangkan istri adik saya yang lainnya (anak nomor 3) sedang mengandung dengan due date akhir tahun ini. Ditambah masih ada 4 sepupu lainnya di keluarga besar yang juga sedang mengandung. Saya takut ini akan menjadi pressure untuknya.

Akhirnya jadilah beberapa orang saja dalam keluarga yang mengetahuinya. Saya sendiri juga belum memberi tahu teman-teman dekat saya. Beberapa masih ada yang belum menikah, ada juga yang belum dikaruniai anak, dan saya hamil anak ketiga.

Masya Allah.

Terkadang saya bertemu dengan sesama ibu lain di playground dan bercerita bahwa saya sedang mengandung lagi. Iya ibu lain, orang asing yang mungkin saya tidak akan berjumpa kembali. Sama halnya saya akhirnya menuliskan hal ini di blog yang mungkin tidak akan ada yang membaca. Setidaknya orang yang tidak mengenal saya langsung di kehidupan nyata.

Selama ini saya memang selalu memakai baju yang longgar sehingga jika tidak diberitahu, orang tidak sadar bahwa saya sedang hamil. Belum lagi saya masih aktif berpergian dan beraktivitas bersama 2 bocah, yang satu digendong pakai carrier perut ketutupan, hehehhe. 

Sungguh bukan berarti saya tidak bersyukur. Walaupun harus diakui bahwa excitement kehamilan selanjutnya memang tidak setinggi yang pertama apalagi kalau jaraknya dekat.

Ada saatnya saya merasa overwhelmed dan merasa anak-anak saya adalah anchor bagi kemajuan saya (sebagai pribadi). Dan saya masih pada tahap belajar berdamai dengan diri sendiri dan mencintai peran saya sebagai ibu. Lalu Allah menentukan lain, dititipkannya saya 1 anak lagi.

Saya sering bercanda dengan suami ketika sedang hitung-hitungan uang. "wah ini kalo ga ada pengeluaran susu anak setahun, aku bisa beli tas louis vuitton loh satu tiap tahun" 😜🤪

Beberapa waktu yang lalu saya lewat di depan RS Bunda Menteng yang bersebelahan dengan fertility clinic terkenal Morula IVF. Tempat banyak orang melakukan bayi tabung. Parkirannya penuh sehingga agak menimbulkan kemacetan kecil jika ada kendaraan yang keluar masuk. Berapa biaya bayi tabung? Katanya sih harus menyiapkan minimal 80-120 juta tanpa jaminan berhasil ya (tetap Allah yang berkehendak). Berarti kira-kira itu biaya susu anak-anak selama 4.5-6 tahun lamanya. Hanya untuk mendapatkan seorang anak, belum biaya ke depannya. 

Jadi wahai kamu Sumayyah, syukurilah bahwa kamu dapatkan anak ini dengan percuma dengan proses kehamilan cenderung mudah dan biaya persalinan nyaman yang selalu ditanggung asuransi.

Maka Nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?

Jakarta, 30 Oktober 2019
Kehamilan 20 minggu

Jumat, 14 Juni 2019

Berlebaran di Emperan Rumah Sakit




Ada yang berbeda dengan perayaan Idul Fitri tahun ini.

Tanpa ba bi bu, diskusi atau argumen. Tahun ini keluarga kecil kami merayakan Idul Fitri bersama keluarga besar saya. Berkumpulnya di Malang.

Ini kali pertama kami mudik ke daerah yang cukup jauh. Biasanya saat lebaran, kami hanya beredar di sekitar Jakarta - Depok - Bogor. Dan sejak menikah, beberapa kali saya berlebaran ke Majalengka. Tidak jauh, masih di Jawa Barat dan tidak perlu naik pesawat.

Tidak, kami bukan orang Malang. Namun takdirlah yang mengantarkan kami berkumpul di Malang. 
Hari raya Idul Fitri 1440 H yang jatuh pada 5 juni 2019 bertepatan dengan 43 hari sudah Ayah saya (Abi) dirawat di ICU RSUD Dr Saiful Anwar.

Sakit apa? Komplikasi yang bermula dari asam lambung dan berakibat sistemik. Sudahlah, saya tidak bisa menjelaskan apa penyakitnya karena saya juga bingung dan memiliki pemahaman terbatas.

Ummi, Ilina, dan Ai sudah dari awal ada di Malang karena mereka yang standby nungguin Abi. Aliya dan Dinda menyusul dari Bandung langsung ke Malang setelah Dinda ujian masuk PTN. Saya, Azi (suami saya), dan anak-anak serta Sarah terbang ke Malang pada tanggal 31. Selanjutnya Rino (suami Ilina) dan Shofiyya baru datang saat hari lebaran dikarenakan baru libur saat hari H. Ilyas dan Cindy, istrinya, baru datang malam hari di hari pertama lebaran.

Karena berlebaran di emperan Rumah Sakit, tidak ada gulai atau opor ayam, makanan khas hari raya. Ada beberapa kue kering pemberian dari tamu yang datang membesuk, namun rasanya tetap tidak sama. Walaupun begitu, kami semua sangat bersyukur bisa berkumpul.

Sempat ada pengharapan, semua dapat menjenguk abi di ICU pada hari lebaran ini. Namun, justru perawat yang menjaga sedang sangat strict. Sehingga hari itu hanya da kesempatan berkunjung 2x, dan masing-masing hanya 1 orang, tidak boleh gantian. Sementara anggota keluarga kami ada 13 di luar Abi sendiri dan kedua cucunya yang masih kecil dan sudah tentu tidak memenuhi persyaratan untuk menjenguk di ruang biasa Rumah Sakit sekalipun.

Ruang tunggu ICU dan IGD di RS Saiful Anwar terdiri dari beberapa baris kursi dan space beralaskan lantai yang cukup besar. Ruangannya terbuka terletak di depan ATM Mandiri, BNI, BRI dan Bank Jatim. Untungnya Malang tidak panas seperti Jakarta ataupun Surabaya, walaupun saat malam datang mulailah terasa gigitan hawa dinginnya. Biasanya yang masih duduk di kursi, adalah orang-orang yang menunggu kabar dari IGD. Sedangkan yang sudah mulai "buka lapak" di lantai, adalah penunggu pasien ICU. 

Selama Abi dirawat, saya sudah 4x bolak balik ke Malang. Biasanya setiap ke Malang saya tidur di hotel ataupun guesthouse, karena kasihan anak-anak jika menginap di emperan Rumah Sakit. Tapi karena high season lebaran yang membuat hotel bertarif 2x lipat, 5 malam terakhir sebelum kembali ke Jakarta pada tanggal 13 Juni, saya dan anak-anak juga ikut menginap di emperan Rumah Sakit. Alhamdulillah, anak-anak baik sekali kalaupun rewel memang rewel dari sananya.

Setiap hari, penghuni ruang tunggu berganti-ganti. Ada yang kondisi keluarganya membaik sehingga dipindah ke ruang perawatan biasa. Ada juga yang berpulang ke Sang Pemilik Hidup. Biasanya ditandai dengan tangisan, jika setelah menangis mereka berkemas berarti keluarganya telah tiada. Kalau tidak berkemas, mungkin keadaannya sedang memburuk.

Dan Abi, saat ini adalah pasien ICU terlama di RSSA Malang. He's a fighter.

Saya belajar banyak tentang hidup di ruang tunggu ini. Selain itu, ini lah pertama kalinya seseorang yang dekat/signifikan bagi saya sakit keras.

1. Umur tidak ada yang tau

Sungguh umur adalah misteri. Yang sakit keras hari ini bukan berarti memiliki umur lebih pendek dari yang sehat walafiat di saat yang sama. Beberapa kali korban kecelakaan lalu lintas masuk ke IGD RSSA dan wafat beberapa hari setelahnya. Jadi ukuran siapa yang duluan masuk Rumah Sakit atau lebih lama di ICU belum tentu yang lebih dulu dipanggil. Dengan kata lain, saya yang sehat walafiat bukan berarti mempunyai umur lebih panjang daripada Abi yang terbaring di ICU saat ini. 

2. Betapa kecilnya pengetahuan manusia

Dunia kesehatan terus berkembang. Contohnya saja wabah kolera yang mematikan di tahun 1800an sekarang sudah ada obatnya sehingga kita jarang mendengar adanya korban jiwa. Namun tetap saja, pengetahuan manusia sangatlah terbatas. Seringkali kita tidak tahu penyebab penyakit ini, diobati yang bagian sini, berdampak ke bagian sana, dan seterusnya. Hal ini mengingatkan kita untuk tidak sombong, tetap tawakkal dan disertai doa memohon pertolongan kepadaNya. 

3. Sedekah adalah penyelamat maut

Jika anda seseorang dengan latar belakang kesehatan dan mengetahui riwayat penyakit yang diderita oleh Abi. Mungkin anda akan sependapat bahwa keajaiban dan pertolonganNya lah yang masih membuat Abi bertahan. Tidak jarang jika bercerita ke teman yang pekerja medis, komentarnya selalu "berat..." 

Sesungguhnya apa yang terjadi di luar kuasa manusia. Namun jika boleh berspekulasi, mungkin apa yang dilakukan Ummi lah yang menyelamatkan maut. Setiap kali ada yang mau membantu dengan mengirimkan sejumlah dana, Ia menolak dan meminta disumbangkan saja ke lembaga amil atas nama Abi.

"Sesungguhnya, sedekah memadamkan murka Allah dan mencegah kematian yang buruk." (HR Turmudzi, Ibnu Hibban, dan Tirmizi).

4. Maka nikmat TuhanMu yang manakah yang Kau dustakan?

Sungguh tidak ada sakit yang enak. Sesimpel kesusupan kayu kecil di jari tangan atau sariawan bisa mengganggu kenyamanan. Abi datang dengan faktor penyebab utama asam lambung yang membuat sesak nafas, namun kini, terganggunya satu organ mempengaruhi organ lain sehingga terjadi komplikasi dan gangguan sistemik. Jadi jika Allah cabut saja satu kenikmatan dariNya, sungguh manusia tidak berdaya. 


فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”

Kalimat ini sampai diulang sebanyak 31x pada ayat 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77 dalam surat Ar Rahman.

Ada yang pernah dengar cerita tentang seorang ahli ibadah yang hari-harinya hanya diisi full dengan ibadah? Saya ingat pernah diceritakan kisah ini (nanti saya cari lagi sumbernya). Singkat cerita di hari penentuan, Allah masukkan iya ke dalam surga dengan rahmatNya. Sang ahli ibadah protes, "dengan amalanku ya Allah". Sampai beberapa kali. Akhirnya ditimbanglah amal ibadah dan nikmat yang Allah telah berikan. Ternyata amal ibadahnya yang non stop seumur hidup hanya bisa impas dengan nikmat mata saja. 

Nah apalagi kita yang begini-begini saja. Jangan pernah merasa cukup dan semata-mata rahmat dan pengampunan Allah lah yang kita harapkan. 


Semoga ada hikmah dan pembelajaran yang bisa dipetik. 

Yang benar datangnya dari Allah, yang salah dari saya.