Jumat, 14 Juni 2019

Berlebaran di Emperan Rumah Sakit




Ada yang berbeda dengan perayaan Idul Fitri tahun ini.

Tanpa ba bi bu, diskusi atau argumen. Tahun ini keluarga kecil kami merayakan Idul Fitri bersama keluarga besar saya. Berkumpulnya di Malang.

Ini kali pertama kami mudik ke daerah yang cukup jauh. Biasanya saat lebaran, kami hanya beredar di sekitar Jakarta - Depok - Bogor. Dan sejak menikah, beberapa kali saya berlebaran ke Majalengka. Tidak jauh, masih di Jawa Barat dan tidak perlu naik pesawat.

Tidak, kami bukan orang Malang. Namun takdirlah yang mengantarkan kami berkumpul di Malang. 
Hari raya Idul Fitri 1440 H yang jatuh pada 5 juni 2019 bertepatan dengan 43 hari sudah Ayah saya (Abi) dirawat di ICU RSUD Dr Saiful Anwar.

Sakit apa? Komplikasi yang bermula dari asam lambung dan berakibat sistemik. Sudahlah, saya tidak bisa menjelaskan apa penyakitnya karena saya juga bingung dan memiliki pemahaman terbatas.

Ummi, Ilina, dan Ai sudah dari awal ada di Malang karena mereka yang standby nungguin Abi. Aliya dan Dinda menyusul dari Bandung langsung ke Malang setelah Dinda ujian masuk PTN. Saya, Azi (suami saya), dan anak-anak serta Sarah terbang ke Malang pada tanggal 31. Selanjutnya Rino (suami Ilina) dan Shofiyya baru datang saat hari lebaran dikarenakan baru libur saat hari H. Ilyas dan Cindy, istrinya, baru datang malam hari di hari pertama lebaran.

Karena berlebaran di emperan Rumah Sakit, tidak ada gulai atau opor ayam, makanan khas hari raya. Ada beberapa kue kering pemberian dari tamu yang datang membesuk, namun rasanya tetap tidak sama. Walaupun begitu, kami semua sangat bersyukur bisa berkumpul.

Sempat ada pengharapan, semua dapat menjenguk abi di ICU pada hari lebaran ini. Namun, justru perawat yang menjaga sedang sangat strict. Sehingga hari itu hanya da kesempatan berkunjung 2x, dan masing-masing hanya 1 orang, tidak boleh gantian. Sementara anggota keluarga kami ada 13 di luar Abi sendiri dan kedua cucunya yang masih kecil dan sudah tentu tidak memenuhi persyaratan untuk menjenguk di ruang biasa Rumah Sakit sekalipun.

Ruang tunggu ICU dan IGD di RS Saiful Anwar terdiri dari beberapa baris kursi dan space beralaskan lantai yang cukup besar. Ruangannya terbuka terletak di depan ATM Mandiri, BNI, BRI dan Bank Jatim. Untungnya Malang tidak panas seperti Jakarta ataupun Surabaya, walaupun saat malam datang mulailah terasa gigitan hawa dinginnya. Biasanya yang masih duduk di kursi, adalah orang-orang yang menunggu kabar dari IGD. Sedangkan yang sudah mulai "buka lapak" di lantai, adalah penunggu pasien ICU. 

Selama Abi dirawat, saya sudah 4x bolak balik ke Malang. Biasanya setiap ke Malang saya tidur di hotel ataupun guesthouse, karena kasihan anak-anak jika menginap di emperan Rumah Sakit. Tapi karena high season lebaran yang membuat hotel bertarif 2x lipat, 5 malam terakhir sebelum kembali ke Jakarta pada tanggal 13 Juni, saya dan anak-anak juga ikut menginap di emperan Rumah Sakit. Alhamdulillah, anak-anak baik sekali kalaupun rewel memang rewel dari sananya.

Setiap hari, penghuni ruang tunggu berganti-ganti. Ada yang kondisi keluarganya membaik sehingga dipindah ke ruang perawatan biasa. Ada juga yang berpulang ke Sang Pemilik Hidup. Biasanya ditandai dengan tangisan, jika setelah menangis mereka berkemas berarti keluarganya telah tiada. Kalau tidak berkemas, mungkin keadaannya sedang memburuk.

Dan Abi, saat ini adalah pasien ICU terlama di RSSA Malang. He's a fighter.

Saya belajar banyak tentang hidup di ruang tunggu ini. Selain itu, ini lah pertama kalinya seseorang yang dekat/signifikan bagi saya sakit keras.

1. Umur tidak ada yang tau

Sungguh umur adalah misteri. Yang sakit keras hari ini bukan berarti memiliki umur lebih pendek dari yang sehat walafiat di saat yang sama. Beberapa kali korban kecelakaan lalu lintas masuk ke IGD RSSA dan wafat beberapa hari setelahnya. Jadi ukuran siapa yang duluan masuk Rumah Sakit atau lebih lama di ICU belum tentu yang lebih dulu dipanggil. Dengan kata lain, saya yang sehat walafiat bukan berarti mempunyai umur lebih panjang daripada Abi yang terbaring di ICU saat ini. 

2. Betapa kecilnya pengetahuan manusia

Dunia kesehatan terus berkembang. Contohnya saja wabah kolera yang mematikan di tahun 1800an sekarang sudah ada obatnya sehingga kita jarang mendengar adanya korban jiwa. Namun tetap saja, pengetahuan manusia sangatlah terbatas. Seringkali kita tidak tahu penyebab penyakit ini, diobati yang bagian sini, berdampak ke bagian sana, dan seterusnya. Hal ini mengingatkan kita untuk tidak sombong, tetap tawakkal dan disertai doa memohon pertolongan kepadaNya. 

3. Sedekah adalah penyelamat maut

Jika anda seseorang dengan latar belakang kesehatan dan mengetahui riwayat penyakit yang diderita oleh Abi. Mungkin anda akan sependapat bahwa keajaiban dan pertolonganNya lah yang masih membuat Abi bertahan. Tidak jarang jika bercerita ke teman yang pekerja medis, komentarnya selalu "berat..." 

Sesungguhnya apa yang terjadi di luar kuasa manusia. Namun jika boleh berspekulasi, mungkin apa yang dilakukan Ummi lah yang menyelamatkan maut. Setiap kali ada yang mau membantu dengan mengirimkan sejumlah dana, Ia menolak dan meminta disumbangkan saja ke lembaga amil atas nama Abi.

"Sesungguhnya, sedekah memadamkan murka Allah dan mencegah kematian yang buruk." (HR Turmudzi, Ibnu Hibban, dan Tirmizi).

4. Maka nikmat TuhanMu yang manakah yang Kau dustakan?

Sungguh tidak ada sakit yang enak. Sesimpel kesusupan kayu kecil di jari tangan atau sariawan bisa mengganggu kenyamanan. Abi datang dengan faktor penyebab utama asam lambung yang membuat sesak nafas, namun kini, terganggunya satu organ mempengaruhi organ lain sehingga terjadi komplikasi dan gangguan sistemik. Jadi jika Allah cabut saja satu kenikmatan dariNya, sungguh manusia tidak berdaya. 


فَبِأَيِّ آَلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

“Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan”

Kalimat ini sampai diulang sebanyak 31x pada ayat 13, 16, 18, 21, 23, 25, 28, 30, 32, 34, 36, 38, 40, 42, 45, 47, 49, 51, 53, 55, 57, 59, 61, 63, 65, 67, 69, 71, 73, 75, dan 77 dalam surat Ar Rahman.

Ada yang pernah dengar cerita tentang seorang ahli ibadah yang hari-harinya hanya diisi full dengan ibadah? Saya ingat pernah diceritakan kisah ini (nanti saya cari lagi sumbernya). Singkat cerita di hari penentuan, Allah masukkan iya ke dalam surga dengan rahmatNya. Sang ahli ibadah protes, "dengan amalanku ya Allah". Sampai beberapa kali. Akhirnya ditimbanglah amal ibadah dan nikmat yang Allah telah berikan. Ternyata amal ibadahnya yang non stop seumur hidup hanya bisa impas dengan nikmat mata saja. 

Nah apalagi kita yang begini-begini saja. Jangan pernah merasa cukup dan semata-mata rahmat dan pengampunan Allah lah yang kita harapkan. 


Semoga ada hikmah dan pembelajaran yang bisa dipetik. 

Yang benar datangnya dari Allah, yang salah dari saya.