Jiahh, belum apa-apa daku sudah utang hampir 3 post di bulan ini. Baru bulan Januari dan
target blogging yang ditentukan oleh diri sendiri tidak dipenuhi. Hadeuhhhh.
Pada post pertama di tahun 2019 ini, saya akan mereview buku yang cukup populer di trimester akhir 2018 lalu. Saking lakunya, bahkan penerbit menaikkan harga buku tersebut dari 49.000 menjadi 59.000. Buku itu berjudul "The Danish Way of Parenting".
Apa yang membuat buku ini berbeda dengan buku parenting lainnya? Baca post ini sampai akhir yaa.
Judul: The Danish Way of Parenting (Rahasia Orang Denmark Membesarkan Anak)
Penulis: Jessica Joelle Alexander dan Iben Dissing Sandahl
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2016 (edisi asli)
Cetakan I edisi Terjemahan: April 2018
Jumlah Halaman: 180
Semenjak menjadi orang tua, barulah saya sadar bahwa pengasuhan menjadi dasar penting hidup seorang anak. Bahkan hal ini akan mempengaruhi suatu generasi dan masa depan suatu negara. Kayanya lebay ya, tapi tidak.
Sudah lama saya
ngefans sama negara-negara di Skandinavia yang selalu menduduki peringkat teratas dalam survey kebahagiaan. Selain itu kebijakan-kebijakan yang mereka miliki pun sangat
family friendly, seperti
maternity leave yang panjang,
paternity leave untuk ayah agar bisa turut membantu Ibu, penitipan anak subsidi pemerintah yang berkualitas dan lain-lain.
Terwujudnya buku ini bermula dari penasarannya Jessica, seorang kewarganegaraan Amerika yang memiliki suami orang Denmark, tentang "
Apa yang menjadikan anak-anak (dan orang tua) di Denmark, orang paling bahagia di bumi?" Bersama dengan Iben yang seorang psikoterapis dan Ibu di Denmark, mereka melakukan penelitian yang kemudian dituliskan dalam buku ini agar lebih banyak orang yang mendapatkan manfaat dan bisa belajar dari cara orang Denmark membesarkan anak-anaknya.
Buku ini sendiri terbagi menjadi 6 bagian yang bisa disingkat dengan kata PARENT ditambah dengan 1 bagian pendahuluan tentang fakta yang ada di belahan dunia lain (khususnya Amerika).
Pada bagian Play dijelaskan bagaimana pentingnya bermain untuk anak-anak sebagai proses belajar kita. Bahkan sebenarnya lebih baik lagi jika mereka dibiarkan main bebas di luar rumah dengan pengawasan kita daripada playdate atau kegiatan bermain yang sudah diatur. (Bagian ini nih, iri banget sama eropa yang dikit-dikit ada playground gratisan buat dimainin anak-anak, di Indonesia kita mesti ke Emol.. Hiks). Beberapa penelitian bahkan menyimpulkan bahwa bermain mempunyai dampak langsung pada semua kemampuan beradaptasi dalam kehidupan. (FUN FACT: Lego asalnya dari Denmark loh)
Pernah dengan Hans Christian Andersen? Penulis terkenal dari Denmark dengan karya terkenalnya seperti The Ugly Duckling dan The Little Mermaid. Tahukan anda sesungguhnya cerita dongen yang sampai dan sering dibacakan di kita atau difilmkan Hollywod memiliki akhir cerita yang berbeda dari aslinya. The little mermaid misalnya sebenarnya dia tidak mendapatkan pangeran dan berubah menjadi buih lautan karena kesedihan. Ya, orang Denmark percaya bahwa tragedi dan kesedihan bukanlah untuk ditutup-tutupi atau hindari, karena dengan adanya itulah membuat mereka bersyukur dengan apa yang mereka miliki.
Bab Authenticity membahas bagaimana membesarkan anak secara natural agar dia dapat mengenali dan menerima semua emosi sejak dini. Hal ini selaras dengan fitrah based parenting yang mengatakan bahwa pada usia 2-7 tahun yang harus diasah adalah otak emosi. Salah satu kesalahan yang saya suka lakukan adalah, overpraised. Terlalu memuji anak tidaklah disarankan karena bisa menyebabkan fixed mindset, contohnya biasanya terjadi pada anak yang selalu dipuji cerdas (secara effortless, alias pinter dari sononya), ini bisa membuat anak justru tidak mau mencoba terlalu keras karena seakan jadi tidak pintar. Heuuuu, jleppp ini kayanya aku banget si fixed mindset. Dari kecil dibilang pinter, sedangkan adikku selalu dibilang tidak sepintar kakak tapi rajin dan gigih, jadilah ia growth mindset. Jreng-jreng, Now I'm a broke and dull mother, and she holds master degree from abroad and allowed to be working online from Indonesia because they need her. Intinya, kalau mau memuji, pujilah prosesnya.
Pada bagian Reframing, kita diajarkan untuk optimis namun realistis. Kita juga diingatkan untuk tidak seenaknya memberikan label negatif pada anak karena ketika label itu diulang terus menerus mereka akan mulai mengasosiasikan dirinya dengan label tersebut dan mengambil kesimpulan identitas darinya. Semenjak saat itu, saya sabar dan tahan-tahan banget jangan sampai keluar perkataan dengan kata mengungkung seperti "Ammar Bandel" kalau dia lagi bertingkah tapi "Ammar Anak Sholeh mana yaaa".
Nilai Empati sudah ditanamkan pada anak-anak Denmark semenjak kecil. Mereka dikenalkan dengan berbagai emosi semenjak preschool, sampai dengan pengaturan halus sedemikian rupa agar anak-anak dengan kelebihan dan kekurangan berbeda bisa belajar dan mengatasi masalah bersama. Empati adalah salah satu faktor paling penting untuk menjadi pemimpin, pengusaha, manajer yang sukses, dan peran penting lainnya.
No-Ultimatums. Pada bagian ini banyak dijelaskan ketidakefektifan dari hukuman fisik pada parenting. Selain itu tipe pengasuhan di Denmark sangat demokratis. Peraturan ditetapkan, namun mereka responsif dan terbuka jika anak pertanyakan. Bahkan di sekolah, setiap tahun murid dan guru duduk bersama berdiskusi peraturan apa yang ingin diterapkan untuk menciptakan kelas yang baik. Di Denmark, lebih banyak waktu dihabiskan untuk bagaimana cara menghindari masalah, bukan bagaimana menghukum. Ingat, yang salah itu perilakunya, bukan anaknya. Selain itu, orang tua Denmark juga tidak langsung turun tangan jika anaknya mengalami kesulitan, sang anak dibiarkan sendiri dulu untuk mencoba mengatasi masalahnya.
Togetherness (Kebersamaan) dan Hygge (Kenyamanan) untuk bab terakhir ini saya yakin sebenarnya hal ini mirip dengan di Indonesia yang sejatinya tidak seindividualistis negara barat. Keluarga berkumpul, saling akrab dan menikmati kegiatan bersama seperti main game, makan, bercengkrama dan lain-lain. Remember when you replace I with We, even Illness become Wellness.
Dan seperti layaknya buku parenting pada umumnya, semua hal dikembalikan lagi ke orang tua. Ingin anaknya baik ya contohkan yang baik. Tidak ingin anak mudah meledak dan marah-marah, ya jangan lakukan hal yang sama. Saya jadi suka ingat-ingat ini kalau sudah mau marah dan teriak sama Ammar, anak saya yang pertama, karena saya ga mau dia melakukan hal yang sama.
Di bagian akhir buku ini mencantumkan sekitar 30 halaman daftar sumber rujukan dan penelitian yang penulis gunakan sebagai referensi. Ahhhh, saya suka sekali karena jadi ilmiah dan bukan "sekedar pengalaman". Salah satu yang jarang ditemukan di buku parenting Indonesia.
Dan sudah tentunya review dan resensi singkat dari saya ini masih kurang dan lebih afdol lagi kalo beli bukunya. Saya jual loh di
IG @sabooks.id isinya kumpulan buku yang saya rekomendasikan dan jual dengan harga diskon selalu.
Semoga bermanfaat 😁😚