Minggu, 13 Desember 2020
Sabtu, 31 Oktober 2020
Alhamdulillah, Shopeepay Sudah Lebih Berfaedah
Okay, jadi aku sudah hampir ditendang lagi nih dari komunitas 1m1c (1 minggu 1 cerita) dimana para anggotanya harus minimal menulis submit tulisan sekali dalam 6 minggu. Tulisan ini bukan submission lomba atau berbayar, tapi memang murni ingin berbagi terutama bagi sobat marketplace oren yang satu ini.
Iya, sudah hampir setahun rasanya jika anda mau mendapatkan manfaat ongkos kirim gratis, Shopee termasuk agak memaksakan penggunaan Shopeepay untuk metode pembayarannya (mungkin mau memanfaatkan dana yang mengendap terlebih dahulu yaa :| ). Belum lagi segala sesuatu harus diklaim dulu vouchernya. Ribet! Apalagi kalau ada customer yang mau dapat ongkos kirim gratis tapi tidak paham pakai Shopee. Ngajarinnya agak berbelit. Jujur saja, ini membuat saya mulai lebih menyukai Tokopedia yang subsidi ongkos kirimnya bisa didapatkan tanpa harus mengklaim voucher, hanya perlu belanja minimal 50 ribu di power merchant dan official store dengan pembayaran apapun.
Kenapa saya tidak suka Shopeepay?
1. Nyangkut
Pembayaran di Shopee harus dilakukan penuh dengan shopeepay. Misalnya saldo shopeepay kita 16ribu lalu belanjaan kita 50 ribu, ya kita harus top up shopeepay 34 ribu lagi. Tidak seperti OVO di Tokopedia, kekurangan tidak harus dengan top up OVO, tapi bisa dikombinasikan dengan pembayaran lain seperti virtual account transfer bank. Sebenanrnya sisa shopeepay bisa ditarik kembali ke rekening kita, namun ribet ahhh...
2. Pemakaian Terbatas
Sebenarnya shopeepay sudah mulai banyak diterima di berbagai merchant di mall maupun toko biasa. Promosinya mirip dengan OVO jaman dulu. Namun karena selama pandemi ini saya di rumah terus, promo-promo tersebut tidak terpakai. Salah satu kelemahan shopeepay adalah bukan afiliasi Gojek dan Grab yang masing-masing sudah punya bentuk uang digitalnya sendiri dan bisa digunakan di banyak platform.
Salah satu poin positifnya, Top Up Shopeepay Masih Gratis
Setidaknya untuk BCA dan Mandiri, jika lewat BNI dikenakan biaya admin 1000 rupiah (sama seperti OVO). Untuk bank lain saya belum mencoba.
Berikut adalah beberapa ide menghabiskan shopeepay yang "nyangkut" selain jajan ke counter
1. Sudah Bisa Digunakan untuk Pembayaran Ekspedisi Favorit
Sebagai ibu-ibu yang suka jualan online shop, sudah seharusnya tahu bagaimana caranya mengakali agar ongkir lebih murah. Salah dua nya adalah menggunakan Help dan Anteraja. Help adalah applikasi delivery perantara yang menyambungkan kita dengan Gosend serta Alfatrex (untuk pengiriman luar kota). Sedangkan Anteraja adalah salah satu ekspedisi baru yang aktif menjemput bola, pick up berapapun jumlah paket dan masih memberikan banyak potongan ongkos kirim lewat applikasinya. Kedua applikasi ini merupakan favorit saya. Dan mereka menerima pembayaran dengan Shopeepay. Yeayyyy
2. Bisa Digunakan di KitaBisa
Sekarang kita bisa bersedekah via kitabisa menggunakan Shopeepay. Nominalnya mulai dari 1000 rupiah dan kelipatannya. Enak kan untuk memanfaatkan dana yang tersisa di Shopeepay.
Sejauh ini sih yang saya temukan itu, semoga bisa saya perbaharui lagi listnya. Ya jadi intinya, shopeepay bisa dipakai di Help, Anteraja, dan Kitabisa, 3 applikasi yang saya gunakan setiap harinya. Hehehehe
Sabtu, 19 September 2020
Kujaga Anak Bungsuku dari 'Ain
Minggu, 09 Agustus 2020
Terpaksa, Pecut Si Procrastinator
Dur undur undur... Kalo bisa nanti, ya nanti aja...
Senin, 22 Juni 2020
My Reading List : May 2020
1. The Hating Game
Penulis: Sally ThorneGenre: Chick LitRating Pribadi: 6.5/10Review Singkat: Sejujurnya saya tidak paham kenapa pengguna Goodreads memberikan rating tinggi untuk buku ini. Ceritanya cukup tipikal untuk chicklit, dari benci jadi cinta. Bermula dari dua orang rekan kerja bernama Lucy dan Joshua yang saling bersaing dan bermusuhan yang akhirnya berujung saling suka. Ada twist tipis pada cerita ini namun tidak sampai membuat saya wow. Novel ini lebih cocok untuk dewasa karena termasuk cukup deskriptif ketika menceritakan keintiman antara dua tokoh utama.
2. The First Phone Call From Heaven
Senin, 15 Juni 2020
My Reading List: April 2020
1. Bare Minimum Parenting
2. Norwegian Wood
3. Confession of Scary Mommy
Rabu, 13 Mei 2020
My Reading List : March 2020
Berikut adalah daftar buku yang saya baca di bulan Maret yang lalu. Semuanya masih seputar Autobiography dan Memoir.
1. Voices from Chernobyl
Karena nonton HBO Miniseries "Chernobyl" tahun lalu, saya jadi agak obsesi dengan Chernobyl dan bahkan memasukkannya sebagai bucket list saya. Tak lama setelah menonton series tersebut, saya pun membaca buku Midnight in Chernobyl karya Adam Higginbottom yang cukup tebal tapi sangat asik dan detail dan kabarnya dijadikan referensi dalam pembuatan miniseries HBO tersebut. Walaupun saya telah membaca buku Midnight in Chernobyl, membaca buku Voices of Chernobyl tidak membuatnya kehilangan informasi baru. Buku ini menyajikan kejadian tentang Chernobyl dengan gaya yang berbeda yaitu melalui sudut pandang berbagai tokoh dan peran. Di dalamnya terdapat cerita mulai dari orang-orang yang berada di Chernobyl saat itu seperti pemadam kebakaran/keluarganya, karyawan chernobyl, tentara yang ditugaskan, sampai dengan pihak-pihak yang tidak ada di lokasi namun melihat/merasakan sendiri dampaknya seperti penduduk Kiev. Chapter dalam buku ini pun tidak panjang, masing-masing menceritakan cerita dari seseorang. Saya pribadi suka dengan buku yang tidak memiliki chapter panjang, seperti checkpoint jika setelah itu mau berhenti membaca terlebih dahulu dan mengerjakan hal lain. Saya suka dan memang agak terobsesi tentang Chernobyl.
2. Scrappy Little Nobody
Seperti umumnya autobiography aktris/aktor pada umumnya, buku ini menceritakan tentang perjuangan seorang Anna Kendrick mulai dari masa kecilnya sampai dia menjadi dirinya sekarang. Tentu saja memoir yang menarik adalah yang berisi tantangan dan kesulitan apa saja yang pernah ia hadapi dan lewati sampai akhirnya menjadi sukses seperti sekarang. (Hmmm, sepertinya kalo dari awal tidak pernah susah, tidak menarik untuk dibuat memoir, bukan begitu?). Saya sendiri baru mengenal Anna Kendrick dari perannya di Up in The Air yang dibintangi oleh George Clooney. Ternyata Anna Kendrick sudah melanglang buana di dunia seni peran sedari kecil. Mengapa saya suka baca memoir orang terkenal, karena pastinya ada inside story yang selama ini kita tidak tahu dan biasanya menarik (bisa jadi lucu, bisa jadi mengagetkan). Gaya bercerita yang digunakan dalam buku ini ringan dan lucu namun tidak sejenaka buku komika tentunya (coba baca memoirnya Trevor Noah dan Tiffany Haddish deh).
BACA JUGA: My Reading List February 2020
Minggu, 12 April 2020
My Reading List: February 2020
Berikut adalah daftar buku yang saya baca di bulan Februari yang lalu.
1. Attachments
Meskipun ditulis pada tahun 2011, cerita ini memiliki latar belakang pada akhir tahun 99, menjelang milenium 2000 (y2k). Lincoln O'Neil bekerja di sebuah kantor media dan bertugas untuk menyaring email karyawan di kantor tersebut. Ya, Ia harus menyaringnya dengan manual, membaca email satu per satu, dan menandai atau meberi peringatan jika isi email mereka tidak sesuai atau terkena red flag. Tapi Lincoln melanggarnya dengan membiarkan Beth dan Jennifer berceloteh sesuka mereka dalam email. Bahkan Lincoln pun mulai mempunyai perasaan pada Beth hanya dengan membaca email kedua sahabat itu.
2. Inside Out
Buku memoir ini mengungkapkan banyak rahasia dan klarifikasi tentang berbagai kejadian di masa lalu seorang Demi Moore. Mulai dari masa kecil dan hubungan dengan ibu kandungnya yang cukup kompleks (dan bikin saya emosiii.. huhhh). Demi Moore juga berbagi cerita mengenai percintaannya mulai dari suami pertamanya yang memberikannya nama belakang panggungnya sampai sekarang, Freddy Moore, pernikahannya dengan Bruce Willis, sampai dengan pernikahan terakhirnya dengan Ashton Kutcher yang bertahan lima tahun. Banyak detail mengejutkan yang diceritakan oleh Demi Moore dalam memoir ini. Banyak yang bisa diambil sebagai pelajaran dari kisah hidup aktris senior ini. Yang pasti setelah baca buku ini, saya jadi ga suka sama Ashton Kutcher, hehehe. Demi Moore dibantu seorang co-author Ariel Levy dalam menulis buku ini.
3. I Heart My Little A-Holes
OB: So what are you using for birth control?
ME: Our Baby
OB: (blank stare)
ME: Seriously, he's like constantly laying between us and cockblocking my husband.
4. A Man Called Ove
Ove adalah seorang laki-laki tua yang cenderung sangat tidak ramah dan individualistis. Bahasa Indonesianya, Ove ini orangnya jutek banget dan blak-blakan, ga basa-basi banget deh. Tidak banyak orang yang akan mengatakan bahwa Ove adalah pribadi yang menyenangkan. Namun Ove memiliki istri bernama Sonja yang menerima dirinya apa adanya serta memiliki kepribadian yang bertolak belakang dengan Ove. Saat Sonja meninggal, Ove merasa sudah tidak ada alasan lagi untuk hidup, dia memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Namun setiap kali ia mencoba untuk bunuh diri, ada saja yang dilakukan tetangga barunya sehingga niatnya tertunda. Buku ini sangat menarik untuk dibaca, lucu dan penuh nilai kehidupan.
BACA JUGA: My January Reading List
Heu, I should've post my March reading list since this is April already.
Sabtu, 28 Maret 2020
My Reading List: January 2020
1. The Year of Less: How I Stopped Shopping, Gave Away My Belongings, and Discovered Life Is Worth More Than Anything You Can Buy in a Store
2. #Dear Tomorrow: Notes to My Future Self
Buku ini jelas menggambarkan bahwa Maudy Ayunda is way more than just a pretty face. Dia juga pintar, giat dan pekerja keras, serta punya insecurity seperti kita layaknya manusia biasa. Buku ini berisi tentang pemikiran dan renungannya tentang hidup. Tidak berat ataupun baru, namun untuk merangkaikan kata-kata tentang apa yang kita rasakan biasanya tidak mudah dan Maudy berhasil. Tentu saja buku ini membawa pesan positif bagi pembacanya. Konsep buku ini banyak tulisan renungan dan puisi serta foto yang instagrammable dengan layout yang menarik, jadi dalam satu halaman tidak penuh dengan tulisan. Bahkan ada playlist yang berisikan lagu-lagu sesuai suasana hati.
3. Every Night I'm Yours (The Spinster Club, #1)
Ini adalah buku stensilan pertama yang saya baca selesai. Hahahaha. Iya saya bahkan ga baca triloginya 50 Shades. Iseng baca karena liat ebook ini didiskon murah banget di play book. Buku ini adalah buku pertama dari series Spinster Club yang berjumlah 5 buku. Masing-masing buku bercerita tentang tokoh yang berbeda dari Spinster Club. Latar belakang ceritanya adalah awal abad 19 atau tahun 1800an, dimana sebenarnya budaya Barat lebih konservatif dan mirip dengan budaya timur pada abad selanjutnya. Apa itu spinster? Spinster adalah perempuan yang tidak menikah/umurnya sudah jauh melewati masa menikah umumnya pada zaman itu.
Pada buku pertama ini, sang tokoh utama perempuan bernama Avis terjebak dalam deal khusus dengan seorang pria dari kaum bangsawan juga bernama Banning. Avis yang seorang penulis ingin memiliki pengalaman seksual yang biasanya hanya dimiliki oleh orang yang menikah saja dan ingin menjadikannya bahan tulisan. Alur cerita yang bisa diduga, Avis dan Banning akhirnya memiliki ikatan dan ketertarikan yang lebih dari sekedar urusan fisik.
Bagi saya, yang menarik justru karena saya baru sadar bahwa barat pun dulu sebenarnya konservatif, dimana premarital sex itu dilarang dan tidak terpuji. Para perempuan juga memiliki pressure yang berat untuk menikah dan lain sebagainya. Persis seperti budaya timur sekarang (atau setidaknya beberapa dekade lalu). Tapi cukup buku pertama ini saja yang saya baca. Alurnya yang mudah ditebak tidak membuat saya ingin melanjutkan ke cerita selanjutnya.
4. The Unlikely Pilgrimage of Harold Fry (Harold Fry, #1)
Awalnya perlu komitmen untuk terus melanjutkan membaca buku ini. Rasa penasaran dan ketakutan saya tentang menjadi empty nester kelak membuat saya ingin tahu apa yang salah dengan Harold dan istrinya serta mengapa ia melakukan pilgrimage ini. Ceritanya tidak bisa ditebak dan sangat menarik. Twisted but not a psycho one. Really worth to read.
5. The Last Black Unicorn
6. Find It in Everything
7. The Girl on the Train
Okay, sekian review dari buku-buku yang saya tulis bulan Januari lalu. Semoga habis ini bisa konsisten menulis review buku pada bulan-bulan selanjutnya.
Selasa, 18 Februari 2020
Manfaat Lebih Banyak Membaca untuk Para Ibu
BACA JUGA: Secrets I Only Share to Stranger
Ok, ok, saya tahu apa yang terlintas di pikiran ibu-ibu lain tentang ibu yang bisa membaca banyak buku.
"Gimana bisaaa?"
Ternyata BISA. Caranya?
- Kurangi Waktu Berselancar di Media Sosial
- Kurangi Waktu Berselancar di Marketplace
Ternyata dengan menyisihkan waktu sedikit saja, 1 jam sehari, kita bisa membaca banyak buku loh. Dan 1 jam itu sangat mungkin karena jika mau jujur waktu yang dihabiskan dengan melihat instastory atau scroll feed/explorer di Instagram bisa menghabiskan waktu lebih dari itu. Hayooo jujurrr.. Saya pernah menonton video di youtube (lupa video pastinya) yang mengatakan bahwa para Top CEO meluangkan waktu 45 menit-1 jam sehari untuk membaca loh.
Media Membaca Buku
Untuk media membaca buku saya paling suka menggunakan handphone, alasannya tidak berat, bisa dibawa kemana-mana, dan paling penting, bisa dibaca saat gelap-gelapan karena umumnya saya membaca buku saat anak-anak sudah tertidur. Namun ini ada kekurangannya sendiri yaitu banyak distraksi seperti notifikasi whatsapp dan media sosial. Awalnya saya masih suka terdistraksi karena masih belum "hanyut" membaca, tapi lama kelamaan saya mulai tak terpengaruh (kecuali anak nangis karena rewel, minta susu atau minta dipeluk. Kalo bapaknya yang minta peluk, masih belum ngaruh :p). Sampai akhirnya saya sampai pada poin dimana, saya justru merasa jenuh menonton video, saya lebih suka dan nyaman membaca buku.![]() |
Source: pixabay |
Beberapa teman masih tetap lebih suka buku fisik, ada juga yang memakai kindle. Semua tergantung preferensi anda, nyamannya yang mana. Saya sendiri memiliki Amazon Fire limpahan dari suami, saudaranya Kindle tapi berwarna jadi seperti tab biasa namun kapasitasnya kecil. Namun tetap saya lebih suka menggunakan handphone saya, dengan applikasi Moon+ Reader Pro (berbayar sekali seumur hidup namun sering diskon 50%).
Genre Buku Favorit
BACA JUGA: Review The Danish Way of Parenting
![]() |
Source: pixabay |
Semua orang tentunya memiliki ketertarikan yang berbeda-beda, jadi ketika kita sudah menemukan apa yang kita suka, biasanya akan lebih nyaman untuk membaca.
Manfaat yang Sejauh ini Saya Rasakan
Sudah jelas dari 2 cara di atas yang saya lakukan dalam meluangkan waktu untuk membaca.1. I Envy, Worry, and Ghibah Less
Ini sebenarnya efek dari mengurangi sosial media bagi kesehatan jiwa. Bagaimana pun sebagian besar orang hanya membagikan momen-momen baik atau kesuksesan (dan terkadang jatuhnya pamer) yang mereka miliki. Kok si itu jalan-jalan mulu, kok dia makannya enak-enak ya, kok dia uangnya kaya ga abis-abis, dan lain-lain. Terkadang kalau baperan, jadinya bisa mudah iri dan khawatir sendiri apakah kita sudah "berhasil"? Jangankan postingan selebgram dan kehidupan glamour (tapi gratisan dan dibayar pulak), sesimpel postingan anak orang yang gemuk di atas timbangan aja kadang bisa bikin baper ya kann...
Selain yang bagus-bagus, biasanya postingan yang ramai pengunjung adalah jika ada skandal. Saya sih bukan netizen yang berani julid langsung di kolom komen, tapi salah satu guilty pleasure saya adalah baca bagian komen postingan skandal atau problematik. Semenjak saya asyik sendiri dengan buku dan kegiatan lainnya di luar sosial media, saya tidak peduli dengan pertengkaran antara selebgram ini dengan selebgram lainnya. I don't even know them. They're famous just because of having these scandals nowadays. Why make stupid people more famous, right?
Belum lagi overfloading information yang ada, seperti contohnya harga masuk sekolah Internasional yang sangat mahal sekali. Lalu jadi pusing sendiri. Lah emang situ mau masukin ke sekolah itu, masih banyak kok sekolah lain yang bagus dan lebih sesuai untuk keluarga kita dengan harga yang lebih terjangkau.
2. I Spend Less
Dengan kemajuan teknologi, cuci mata sekarang bisa dilakukan tanpa pergi kemana-mana cukup dengan ujung jari kita. Baik di marketplace, maupun sosial media. Intinya semua beriklan dan berjualan. Walaupun dengan berbelanja kita ikut berpartisipasi dalam kemajuan ekonomi, tapi kalo kebanyakan dan ga perlu akan berdampak pada kekeringan kantong. Akhirnya saya hanya berbelanja ketika saya merasa memang hal itu saya perlukan.
3. Brain More
Semoga sharing dari seorang yang awalnya tidak membaca buku ini berguna yaa. Yuk kepoin buku-buku yang kubaca dan berteman di Goodreads!
Jumat, 07 Februari 2020
Pengalaman Rawat Inap di Rumah Sakit Universitas Indonesia
BACA JUGA: Buku Pegangan Wajib Orang Tua
![]() |
Perbandingan tarif rawat inap RSUI (kiri) dan RSH Depok (kanan) |
Kami tiba di IGD sekitar jam 6 sore sebelum maghrib. Karena sepi, jadi langsung dilayani. (Beberapa hari kemudian, ada kecelakaan bus di subang dan korbannya, yang kebanyakan domisilinya di Depok, dilarikan ke RSUI. Pastilah kalau bersamaan, kami mendapat prioritas terakhir sesuai kegawatdaruratan). Di sana, Caca diperiksa oleh dokter jaga yang ada dan diambil darah serta urinnya untuk tes lab.
Fasilitas Kamar
![]() |
Rawat Inap Kelas VIP RSUI |
![]() |
Fasilitas yang ada di Kamar |
![]() |
Toilet dalam Kamar |
Makanan
Dari cerita teman sih, biasanya diberikan pilihan menu untuk makanan, namun saat Caca dirawat, kami tidak diberikan pilihan, biasanya sih karena mendapat diet khusus. Sarapan pagi biasanya paling simpel, biasanya bubur dan topping. Makan siang dan malam lebih lengkap dengan buah. Caca juga mendapat pediasure untuk selingan 3x sehari sebanyak 150 ml (yang pakai asuransi, biasanya susu formula tidak dicover ya), mungkin karena anaknya langsing banget yaa. Selama 4 malam dan 4 hari menginap, ahli gizi datang sebanyak 2x.![]() |
Contoh Sarapan |
![]() |
Contoh Makan Malam |
![]() |
Contoh Makan Siang |
Fasilitas Penunjang Lainnya
![]() |
Mushola Rawat Inap Lantai 6 |
![]() |
Ruang Tunggu Keluarga/Pengunjung cukup luas dan nyaman. |