Sabtu, 26 Juni 2021

Cukuplah Kematian Sebagai Pengingat

Sebenarnya sudah lama saya merenungkan hal ini. Terlebih setelah Ayah saya meninggal tepat 2 tahun lalu, 26 Juni 2019. Kematian pertama yang memiliki banyak dampak pada saya, bisa dibilang first loss. Ditambah dengan keadaan pandemi di Indonesia yang sepertinya sedang mengalami tsunami Covid sekarang ini, membuat saya semakin merenung artinya kematian. 






Akhir Maret lalu saya sempat mengalami demam dan meriang disertai pusing. Karena sedang pandemi, saya sampai memeriksakan diri dengan uji PCR walau saya tidak ada kontak erat dengan kasus positif dan saya di rumah saja. Alhamdulillah, hasilnya negatif. Sudah lama saya tidak sakit. Ah sungguh tidak enak ya ternyata rasanya. Pantas saja sakit itu penghilang dosa.

Ada 2 cara manusia meninggal, mendadak dan sakit. Mendadak bisa saja ada kecelakaan atau (mungkin) pembunuhan. Yang dianggap lebih "alami" tentu saja sakit, apalagi jika sudah lanjut usia. Namun, mana yang lebih mudah?

Jika mendadak, apakah kita cukup waktu untuk menyiapkan mereka yang kita tinggalkan. Betapa banyaknya rencana yang tidak dapat diwujudkan. 

Jika sakit, apakah kita mampu untuk melewatinya? Mengingat sariawan saja sudah tidak enak. Sedikit saja nikmat darinya dicabut, cukup untuk membuat kita sangat tidak nyaman.  

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. (QS Luqman: 27)

Ada sebuah cerita yang mungkin sudah banyak didengar. Namun tidak ada salahnya saya tulis lagi sebagai pengingat. Seperti yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah, bahwa Rasulullah bercerita bahwa Djibril menceritakan padanya tentang seorang hamba Allah yang hanya beribadah selama 500 tahun. Saat hari perhitungan tiba, hamba tersebut meminta dimasukkan ke surga atas ibadahnya. Namun Allah memasukkannya ke surga atas rahmatNya. Setelah berkali-kali kukuh bahwa ibadahnya dapat membawanya ke surga, dilakukan lah pengukuran. Singkat cerita, ibadah tanpa henti selama 500 tahun tidak dapat membalas kenikmatan penglihatan yang ia miliki. 

Subhanallah. Bagaimana dengan diriku yang pas-pasan ini. 


Wahai Tuhan, ku tak layak ke surgaMu. Namun tak pula aku sanggup ke nerakaMu


Bagaimana pun caraMu memanggilku kelak, semoga aku dalam keadaan husnul khotimah. Walaupun kadang tak sanggup aku membayangkannya. Betapa lemah dan kecutnya diri ini. Cukuplah kematian sebagai pengingat.

Depok, 26 Juni 2021



1 komentar:

  1. Hai Mba, bagus bgt pengingatnya... terima kasih ya sudah nulis ini... saya suka blogwalking tapi sedih karena blog-blog yang dulu suka dibaca sudah banyak yang ditinggalkan oleh penulisnya, seneng nemuin blog yang masih cukup aktif... semoga aktif menulis (yang baik-baik) terus ya

    BalasHapus