Sabtu, 24 November 2018

Gengsi yang Instagrammable



Day 5 of BPN 30 Day Blog Challenge - Tentang Media Sosial

Dunia sosial media baru-baru ini dihebohkan dengan berita perceraian pasangan G-G yang sering digadang-gadang menjadi #relationshipgoals #couplegoals #itcouple, you name it lah. Berita tersebut menghebohkan karena selama ini tidak ada gosip miring dan mereka selalu terlihat harmonis. Foto ala-ala yang bikin para jomblo baper sih jangan ditanya, segudang. Suami-istri di kehidupan nyata, Instagram Wife and Husband pulakkk (Itu loh istilah untuk yang suami-istri sama-sama siap menangkap momen bagus dan bisa diabadikan di sosial media. Cung lah yang suaminya ga instagram husband :p).

Social Media is Fragmented Reality

Apa yang ada di sosial media tidak menunjukkan realita yang seutuhnya alias sepotong-potong saja. Setuju ga? Kita cenderung ingin menunjukkan kesuksesan apa yang kita raih, kebahagiaan apa yang kita rasakan, dan lain sebagainya...

Ya setuju sih, because good vibe is better than bad vibes kan. Lagian ya siapa sih yang kalau misalnya lagi berantem sama pasangan sempat foto-foto atau videoin. Atau misalnya pas anak lagi menguji kesabaran banget misalnya sampai buat kita (hampir ataupun kebablasan) marah. Ga ada kann... Kecuali kamu Vicky Prasetiyo yang sampai bawa media infotainment buat ngegrebek istri sendiri. Saya cukup yakin ini ada istilah psikologinya tersendiri untuk orang seperti ini.

Pada tulisan ini saya akan lebih fokus ke Instagram ya, yang menurut studi yang dilakukan oleh Royal Society of Public Health adalah platform media sosial terburuk untuk kesehatan jiwa. Lagipula kalau di facebook saya banyak isi postingannya ibu-ibu dan jualan. Hihihihi (termasuk saya yang suka jualan di closed group). Mommy millenial pun masih lebih banyak bermainnya di Instagram, kalau di facebook lebih banyak mommy-mommy seumur Ibu saya yang aktif alias nenek-nenek muda hehehe.

Anyway, balik lagi ke si fragmented reality yang menurut saya adalah akar penyebab utama dampak yang ditimbulkan oleh Sosial Media terhadap kehidupan pemakainya sehari-hari baik yang baik maupun buruk.

Pengaruh Buruk misalnya

  • Duh, nikahannya lucu dan bagus banget, Instagrammable. Aku juga pengin ah kaya gitu -- Lalu berujung ke "ga jadi nikah-nikah", karena ngumpulin biaya pernikahannya dulu. Padahal esensinya bukan di pesta pernikahannya, tapi di kehidupan setelah pernikahannya kan. Biasanya setelah resepsi berlangsung baru lah kerasa, kok sayang ya hambur-hamburin uang banyak begitu, mendingan buat DP Rumah, dll. Tabungan ludes sih masih mending, ga jarang orang sampai berhutang loh. Ada marketplace penyedia jasa pernikahan sampai menyediakan fasilitas cicilan 24x lohhh... Yah bayangin aja masa udah punya anak masih nyicil nikahan, ya gakk... Semua karenaaaaa eng ing engg... Instagrammable.
  • Duh mereka jalan-jalan mulu euy ke luar negeri, enak banget sih -- Berimbas ke boncossnya kembali tabungan akibat pembelian mendadak saat promo tiket demi bisa jalan-jalan dan bikin foto ga kalah hits. Ehemmm ya aku juga gitu sih, perlu banget jalan-jalan biar bisa refreshing. Tapi perlu perencanaan yang baik kalau mau terhindar dari jerat utang apalagi riba.. Hiiii
  • Duh, senang banget ya punya anak, kayanya bahagia banget gitu -- Pernyataan ini ga salah, tapi memiliki dan mengurus anak itu juga bukannya mudah. Berpikiran bahwa memiliki anak akan menyelesaikan masalah dan menambah keharmonisan keluarga disertai ekspektasi yang sangat tinggi dapat membuat kita kecewa dan stres saat akhirnya benar-benar memiliki anak. Dan nyatanya dengan adanya gambaran keluarga sempurna di sosial media terbukti telah meningkatkan angka kejadian Post partum depression (PPD) atau yang sering disebut juga baby blues (link beritanya disini).
  • Duh, kayanya enak ih makan di restoran itu, banyak spot fotonya, makanannya juga cantik -- Lalu muncul lah fenomena orang-orang bergaji 10 juta tapi ga punya aset dan tabungan karena hobi kongkow-kongkow dan makan siang di mall. Jangankan 10, yang diatas 20 pun banyak karena terjerat middle income trap.
  • Duh, baju ini banyak yang suka dan belinya rebutan. Duh, tas ini juga keren deh. Duh sepatu ini bagus nih bisa gantiin ulekan kalau ga ada, dll. -- Intinya apa, social media promotes consumptive lifestyle. 
  • Don't get me started on mompetition/mom war, etc... Bisa jadi satu post sendiri, bahkan bisa jadi buku sendiri. Iya, Kumpulan Emak Blogger bahkan udah menerbitkan buku tentang ini berjudul "Stop Mom War" yang ditulis dari beberapa belas blogger yang saya yakin juga termasuk anggota BPN.
  • Dan banyak duh duh yang lain... 

Sebenarnya kata Instagrammable lama-lama bisa diartikan menjadi Gengsi! Ya gak sihh. Maka gak heran kalau sebagian besar millenial tidak bisa beli rumah (selain emang harga properti yang gila-gilaan banget sih.. mulai bubble juga kayanya). 

Inti dari poin-poin yang saya sebutkan di atas apa? Potongan-potongan indah kehidupan di Sosial media membuat kita fokus pada apa yang tidak kita punya. Merasa kurang terus padahal kita sudah diberikan banyak hal yang patut disyukuri oleh yang di atas. 


 Baiknya?

  • Informasi sampai lebih cepat dan mudah contohnya undangan pernikahan. Kita pun juga lebih jarang untuk lupa ulang tahun seseorang. 
  • Berhubungan kembali dengan kawan lama. Oh tapi jangan mantan, itu berbahayaa... Don't play with fire 🔥
  • Munculnya pekerjaan baru yaitu Influencer. Yaaa, blogger pun salah satu yang kena imbas positifnya.
  • Untuk para pembisnis, biaya marketing sekarang cenderung lebih murah, iklan di televisi masih jauh lebih mahal dibanding beriklan di sosial media serta jauh lebih efektif. Banyak yang mengakui kekuatan instagram untuk bisnis. Saya sih berharap suatu saat bisa memanfaatkan ini juga (sekarang mah belum mulai serius). Perhatiin deh fenomena online shop baju yang suka sold out ribuan pcs hanya dalam waktu 0 menit dibuat dengan cara rebutan via whatsapp. Semakin rebutan semakin penasaran. Seminggu 2x buka order semacam itu, harga satuannya 150 ribu ke atas. Itung aja deh tuh omsetnya berapa untuk skala industri rumahan yang bahkan ga punya toko fisik. Wow banget kann..

Beberapa trik yang saya lakukan agar tetap waras main sosial media.

Tidak follow selebgram/influencer terutama yang sosialita. - Iya saya pernah baca sih, kalau mau menaikkan jumlah follower harus follow popular account. Tapiii, yaa ngapain kalo ujung-ujungnya isinya endorse non stop unfaedah (sebenernya ini ada rasa iri ga dapet barang gratisan juga, hihihi *sape luuu sum). Atau isinya hidup sepertinya gampang, jalan-jalan mulu. Lahhh dia mah gretongan, jangan disama-samain sampai bela-belain ngutang dong.

Jangankan selebgram, teman sendiri aja suka bikin baper postingannya. Ya gakk... Kalau tidak suka, ya unfollow. Kalau tidak enak mau unfollow, ada fitur mute loh. Dan mute ini bisa dipilih, mute story saja, atau post saja, atau keduanya. Amannnn.

Ini contoh menu yang bisa digunakan untuk me-mute seseorang. Btw, itu akun suami saya kok 😋

Follow akun yang memberikan informasi bermanfaat seperti akun agama, parenting, influencer positif, atau bahkan kartun yang menghibur. After all, social media is supposed to be fun, right? Apa saja akun instagram favorit saya yang recommended untuk difollow? Tungguin post hari ke-15 yakk 

Ingat-ingat, Selena Gomez punya 144 juta followers dan ketika masih 80 jutaan, biaya endorse jepret posting 1 foto di Instagramnya adalah 4 Miliar rupiah. And still, it doesn't make her the happiest person. Malah sekarang lagi masuk rehabilitasi karena stres. Perhaps, the happiest person on earth don't even own a social media


2 komentar:

  1. Yang Vicky mah berlebihan sih wkwkwk. Ya ampun selgom kenapakah. Ku udah lama nggak ngepoin berita soal selgom. Duh satu kali post 4 M hmm ...

    Ngomong-ngomong mba, makasih lho trik buat mute postingan. Ku mau coba ah, nggak inget ada fitur itu hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Entah mbak, mungkin stres ditinggal nikah JB, hihihi

      Mute itu berguna banget sih menurut aku, lumayan bikin tenang.. hehehhe

      Hapus