Senin, 31 Desember 2018

Ammar dan Speech Delay



Long read, karena rada curcol yaaa 😃

Salah satu kekhawatiran mommy-mommy saat anaknya berusia di bawah 1 tahun adalah kalau anaknya belum bisa jalan.

Sedangkan kalau anaknya berusia di bawah 2 tahun, yaitu kemampuan bicaranya.

Ya nggak? Padahal red line sih belum tapi kok jadi cemas ya liat anak teman udah bisa ini itu.

Begitupun dengan saya. Saat itu Ammar berusia 15 bulan ketika saya mulai resah kenapa kemampuan berbicara Ammar menghilang. Dari yang sebelumnya babbling, sempat manggil ayah sampai akhirnya cuma seperti menggumam dan enggan berbicara. Ammar mengerti dan paham apa yang kami ucapkan namun orang di sekitarnya tidak mengerti apa yang dia maksud sehingga hal ini membuatnya mudah ngambek dan marah. 

Saya teringat dengan denver developmental chart yang sering dijadikan acuan tumbuh kembang anak, dan memang kemampuan berbicara Ammar menghilang dan sama seperti anak 9 bulan. Dari hasil googling sana sini dan baca blog orang (lupa blognya yang mana) lebih baik segera periksakan anak ke klinik tumbuh kembang, karena jika ternyata ada masalah dan anak belum berusia 2 tahun akan lebih mudah terapi dan penyembuhannya.

Akhirnya mendaftarlah saya pada bulan Desember 2017 di Klinik Tumbuh Kembang salah satu Rumah Sakit swasta di Depok. Bukan main, untuk pemeriksaan awal saja harus waiting list selama 3 bulan. Klinik sangat penuh karena mereka juga menerima pasien BPJS dan tidak ada pengkhususan untuk yang umum. Oh iya perlu diingat untuk pengguna asuransi swasta yang biasanya disediakan kantor, sebagian besar tidak menanggung biaya untuk tumbuh kembang, jadi pastikan dengan kantor atau provider asuransi anda.

Yang ditunggu pun tiba, 3 bulan sudah dan akhirnya giliran janji temu Ammar dengan dokter di klinik tumbuh kembang. Saat itu saya sedang hamil besar kira-kira week 35 atau 36 dan tentunya cukup stres seakan inilah drama si kakak saat hamil si adek.

Di ruang tunggu klink tersebut, kamu mengamati anak-anak lain. Rata-rata memang hiperaktif, kesulitan konsentrasi, dan lain sebagainya usianya rata-rata sudah 3 tahun ke atas atau sudah umur playgroup. Ada juga yang memang diterapi karena kelainan bawaan seperti down syndrome, microcephaly, autisme.

Keputusan saya membawa Ammar ke klinik tumbuh kembang (tumbang) dinilai lebay oleh orang tua saya. Ketika saya melihat kondisi anak-anak di tumbang pun ada perasaan "duh lebay ga yaa.. Jangan-jangan dah capek-capek waiting list 3 bulan, dokternya pun bilang ga kenapa napa"

Khusus untuk ke tumbang ini, suami saya yang bekerja di luar kota, pulang dan mengambil cuti. Masuklah kami ke ruangan dokter. Ada 2 dokter yang menganalisa ditemani 1 perawat. Di dalam ruangan, Ammar diajak bermain, dites apakah bisa menyusun (stacking), jika dipanggil menoleh atau tidak, bagaimana konsentrasinya, bisa memenuhi perintah atau tidak, dan lain sebagainya. Sedangkan kami sebagai orang tua harus menjawab banyak pertanyaan tentang perilaku dan tumbuh kembang Ammar sehari-hari.

Diagnosanya: Ammar memiliki gangguan sensori integrasi dengan kecenderungan yang bisa mengarah ke ADHD (Attention Deficit/Hyperactive Disorder). Waktu itu Ammar berumur 18 bulan. Untuk checklist periksa sendiri apakah anak gangguan sensori integrasi atau tidak, bisa lihat di sini ya. Kami pun diberi list stimulasi yang bisa dilakukan sendiri di rumah dan disarankan untuk mengambil terapi Sistem Integrasi terlebih dahulu baru dilanjutkan dengan Okupasi Terapi. Tapi untuk diagnosa saja kami menunggu 3 bulan, untuk terapi jadwalnya penuh berbulan-bulan. Susternya sendiri pun tidak bisa memberikan jadwal dan lebih menyarankan untuk mencari ke klinik di luar.


Agar diagnosa lebih menyeluruh, Ammar juga dirujuk ke dokter kejiwaan yang ada di Rumah Sakit yang sama. 

Sepanjang jalan pulang dari dokter tumbuh kembang, pikiran saya hanya memutar balik percakapan yang terjadi di ruang dokter tadi. Jujur saya tidak terima karena rasanya ada yang mengganjal, seperti:
  • Di rumah, Ammar dengan mudah melaksanakan perintah yang kami berikan. Namun di Rumah Sakit kan tidak semudah itu, apalagi yang menyuruh bukan orang yang dikenal.
  • Dokter menanyakan pertanyaan seperti "sudah bisa naik tangga". Kami jawab "sudah, tapi masih pegangan pinggir tangga". Dokter "oh berarti belum bisa ya". 😐😐😐😐 (Belakangan saya malah nemu di poster kesehatan, naik tangga tanpa pegangan itu ada di milestone anak 3 tahun, lagian coba bayangin kalau tangganya 1/3 tinggi badan kita, emangnya ga pegangan?)
  • Saya juga bilang bahwa Ammar anaknya sangat hati-hati bisa menilai bahaya. Jika kita taruh di pinggir tempat dengan elevasi maka dia akan diam tidak bergerak atau memanggil orang. Tanggapan dokternya: "itu kan menurut Ibu, orang tuanya"
  • Selama wawancara kami mencoba menjawab sedetail dan sejujur mungkin namun terkadang dokter seperti tidak percaya.
Sedangkan di dokter jiwa (horor bener kann kayanya anak saya gila 😣) saya tak ingat betul selain saya memahami kesalahan saya yaitu anak terpapar screentime terlalu lama dan anak suka tidur terlalu malam sehingga hormon pertumbuhannya tidak optimal. Ditambah lagi dokter jiwa merasa bahwa ukuran kepala Ammar "unusually big" jadi disarankan untuk diperiksa. Atas saran dokter anak langganan, saya disarankan untuk memeriksakan Ammar ke dokter syaraf anak di Cinere (daerah Depok tidak ada, Cinere walaupun Depok tapi bukan Depok karena jauh.. halahhh apa sihh).

Dokter syaraf anak di Cinere ini termasuk yang terkenal sepertinya karena dari hasil googling banyak yang menyebutkan nama beliau (inisial nama depannya I). Waktu itu pun cukup antri, walaupun dokternya juga agak telat, praktek jam setengah 7 datangnya jam 8, dan Ammar baru dipanggil jam 10 (saat itu Salsa sudah lahir dan berumur 2 minggu). Dan salah satu yang bikin kecewa adalah, selama di ruangan, dokternya tidak pernah sama sekali melakukan kontak mata atau menengok ke arah anak kamu. Untuk mengetes respon Ammar, sang dokter menyuruh susternya untuk memanggil anak saya, dan tentu saja Ammar tidak langsung menengok karena sedang sibuk main pelosotan yang memang disediakan di dalam ruangan dokter tersebut. :| Jujur ilfeel berat sama dokternya.

Hasil dari dokter syaraf anak ini adalah rujukan untuk melakukan CT Scan yang sampai sekarang tidak berhasil karena anaknya selalu terbangun dan menangis ketika ditaruh di alatnya walaupun sudah diberikan obat tidur. Selain itu Ammar juga diberikan resep obat racikan untuk membantu konsentrasinya yang ternyata obat cukup keras sehingga saya hanya menebusnya tapi tidak pernah saya berikan ke anak saya.

Karena mendapatkan jadwal terapi tidak mudah ditambah saran dari beberapa teman, kami memutuskan untuk dimaksimalkan saja di rumah dulu dengan cara-cara sebagai berikut:

  • Strict no gadget dan ini berlaku juga kepada yang sedang mendampingi
  • Lebih aktif mengajak Ammar main bersama dan mengobrol
  • Mengusahakan Ammar tidur siang tidak kesorean, dan tidur tidak lebih dari jam 9 
  • Beralih dari buku anak tipe spotting ke yang ada jalur ceritanya

Sungguh saya bukannya anti gadget, dan saya tau banget gimana rasanya hopeless anak susah makan. Sebelumnya ada perasaan denial akan pengaruh youtube kepada kemampuan berbicara. Masih ada sedikit perasaan "ahh semoga anakku seperti anak si X yang walaupun kena screen time banyak tapi tetap bisa ngomong". "ahh enak ya jadi orang luar negeri yang mother languagenya bahasa Inggris, jadi resiko gagap bahasa berkurang, kan video anak yang lucu-lucu banyaknya dalam bahasa Inggris", dan lain sebagainya. 

Kenyataannya, memang secara statistik 40% anak dengan screen time tinggi mengalami keterlambatan berbicara apalagi jika terpapar pada usia di bawah 2 tahun. Dampak yang ditimbulkan biasanya:
  • Bingung bahasa - bisa dilihat bahwa sebagian besar konten youtube anak yang menarik adalah berbahasa Inggris. Sedangkan orang di sekitar anak berbahasa Indonesia.
  • Berkurangnya konsentrasi dan cepat bosan
  • Lebih mudah marah
Pada usia 21 bulan, Ammar ditawari menjadi volunteer di kelas anak FIK (Fakultas Ilmu Keperawatan) UI yang sedang membahas tentang tumbuh kembang oleh tantenya (adik saya). Tentu saya bersedia apalagi ini gratis dan saya perlu second opinion tentang kondisi Ammar. Di kelas tersebut, Ammar diajak bermain dan saya sebagai orang tua ditanyai beberapa pertanyaan mengenai Ammar yang tidak bisa dijawab hanya dengan melihat Ammar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berdasarkan KPSP IDAI (Kuesioner Pra Screening Perkembangan Ikatan Dokter Anak Indonesia).


Contoh Pertanyaan Untuk Ammar saat itu

Hasilnya?

Alhamdulillah tahap perkembangan Ammar masih sesuai dan tidak mengkhawatirkan. Setidaknya saat itu Ammar mempunyai lebih dari 3 kata yang memiliki arti. KPSP yang saya sebutkan di atas dapat digunakan sampai anak berusia 72 bulan atau 6 tahun loh sehingga bisa dipakai dan dievaluasi sendiri sebelum memutuskan untuk membawa anak ke klinik tumbuh kembang.

Jujur, rasanya berbeda sekali saat diperiksa dokter dengan saat diperiksa perawat. Pendekatannya itu loh... lebih intim dan bersahabat dengan perawat. Tanpa bermaksud mengeneralisir, tapi dokter yang saya temui seakan waktunya sangat berharga dan ingin secepatnya mengakhiri sesi dengan pasien dengan memberikan diagnosa yang terlalu terburu-buru.

UPDATE Ammar Sekarang?

Sesungguhnya draft blogpost ini sudah ngejogrok dari Bulan Agustus saat Ammar berusia 2 tahun (24 bulan). Sekarang Ammar sudah 28 bulan. Ammar sendiri mengalami ledakan bahasa pada usia kurang lebih 22-23 bulan. Setelah ini tahapannya sangat cepat, mulai dari kalimat lengkap terdiri dari S-P-O (Subjek, Predikat, Objek), sampai penggunaan pada konteks yang tepat dari sih, kok, oh, dong, dan kata-kata lain yang tidak memiliki arti tapi biasa kita ucapkan sehari-hari. Ammar pun sekarang sudah gemar menceritakan kembali cerita yang dibacakan atau kejadian yang dia alami sehari-hari. Yup, sudah memasuki tahap "ember" dan suka ngadu.

Kesimpulannya?

Dari pengalaman saya di atas, ada beberapa poin yang perlu dievaluasi orang tua apabila anaknya mengalami keterlambatan bahasa sebelum memutuskan memeriksakan anak ke klinik Tumbuh Kembang.


1. Cek Screen timenya

Menurut saya ini adalah yang perlu dicek pertama kali saat anak mulai terlihat "lambat berbicara". Saatnya jujur dengan diri sendiri. Mungkin ibu pekerja yang menitipkan anaknya dan tidak bisa berbuat banyak saat yang dititipkan memberikan screen time, atau ibu rumah tangga yang cukup desperate untuk bisa mengatur dan membereskan hal lain, atau bahkan taktik agar anak bisa makan? Percayalah, I've been there, done that! Berdasarkan saran batasan screen time dari American Academy of Pediatrics, untuk anak di bawah 18 bulan sebenarnya belum boleh kecuali untuk video call. Di atas 18 bulan perlu pendampingan dan seleksi akan program yang disungguhkan, sedangkan 2 tahun ke atas tetap perlu pendampingan dengan batas maksimal screen time selama 1 jam per hari.

Untuk anak saya yang ke-2, caca, sudah saya terapkan hanya video call saja. Dulu beberapa teman saya pernah post tentang anaknya yang sedang bermain di dekat TV tapi tidak menunjukkan ketertarikan/terhipnotis TV, ya usianya sekitar 2 tahunan memang tapi mereka memang tidak terpapar semenjak kecil. Saya sempat skeptis, MANA MUNGKIN. Ternyata mungkin, karena caca sekarang pun masih lebih memilih asyik dengan mainannya dibanding melihat ke layar TV.

Kalaupun memang sangat terpaksa, menurut pengalaman saya TV dengan tontonan berbahasa Indonesia memiliki dampak buruk yang lebih ringan dibandingkan youtube bahasa Inggris di Gadget/HP saat anak masih belum bisa berbicara. Layar gadget yang lebih kecil, cenderung membuat anak menjadi lebih terpaku dan fokus kepada layar.

2. Interaksi dan Dialog?

Siapa yang suka main HP di saat menyusui? CUNG, SAYA! Tanpa sadar hal itu membuat saya kurang melakukan interaksi dan mengajak anak saya berbicara. Rajin-rajinlah mengajak bayi anda berbicara, mulai dari mendeskripsikan apa yang sedang anda lakukan, mengajaknya bercanda, sampai memberikan pertanyaan retorika. Stimulasi seperti ini membantu anak dalam merespon, mulai dari sederhana lama kelamaan menjadi lebih kompleks seperti berbicara :)

Jadi tunggu lah sampai anaknya tertidur yaa.. Walaupun kadang saya suka senewen sendiri, anak ngga tidur-tidur padahal saya ada perlu di HP. But then I came with a conclusion, it's not only their addiction we want to avoid, it's our addiction we have to overcome!

Oh iya, dengan sering melakukan interaksi dengan anak, kita juga bisa mengetahui dan lebih peka, kalau-kalau anak memiliki tanda-tanda autisme. Karena tanda-tandanya bisa dilihat dari usia 6-12 bulan, dan diagnosanya bisa tegak pada umur 18 bulan.

3. Bagaimana tekstur makanannya?

Pada beberapa kasus, oromotor (oral motor) menjadi penyebab keterlambatan anak berbicara. Kepiawaian ibu dalam menentukan kapan anak bisa naik tekstur makanan sangatlah penting. Salah-salah, jika telat, anak akan terbiasa memakan makanan dengan tekstur yang lembut padahal umurnya sudah cukup sehingga oromotornya tidak terlatih dan menghambat kemampuannya berbicara.


Sekian pengalaman saya dan tanpa niat untuk menggurui. Semoga bisa diambil hikmahnya dan terhindar dari kestressan yang saya alami.




3 komentar:

  1. aku juga masih susah banget nih melepaskan anak dari gadget. kalau soal ngomong kayaknya dia standar aja untuk usia 25 bulan. mulai mengucapkan 3 patah kata. yang masih pr juga aku belum rajin bacain buku ke dia. huhu

    BalasHapus
    Balasan
    1. emang susah yaaa, apalagi kalo kitanya juga susah lepas dari gadget.. huhuhu... lumayan bantu vocab kalo kita sering bacain buku *baca di buku read aloud handbooknya jim trelease"

      Hapus